Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:
1. Melihat hilal ramadhan.
2. Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Melihat Hilal Ramadhan
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
”Karena
itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila bulan telah masuk
kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah
kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung,
sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”22
22 HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
23 HR. Abu Daud no. 2342. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
24 HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
25 Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92.
Menurut
mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat
hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, “Orang-orang berusaha untuk melihat hilal,
kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan
orang-orang agar berpuasa.”23
Sedangkan
untuk hilal Syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat
mayoritas ulama berdasarkan hadits, “Berpuasalah kalian karena
melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban
karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian,
sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi,
berpuasa dan berbukalah kalian.”24 Dalam hadits ini dipersyaratkan dua
orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal
Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan
hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.25
Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab
Perlu
diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara
hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah
(yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama
telah bersabda,
”Sesungguhnya
kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)26
dan tidak pula mengenal hisab27. Bulan itu seperti ini (beliau
berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan
bilangan 30).”28
26 Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis) amatlah jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127)
27
Yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum
(perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat Fathul Bari, 4/127)
28 HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
29 Fathul Bari, 4/127.
30 HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
Ibnu
Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan, “Tidaklah mereka –yang
hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali
hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan
ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi
pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu
dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik
membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat
konteks yang dibicarakan dalam hadits akan nampak jelas bahwa hukum sama
sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang
dengan penjelasan dalam hadits, “Jika mendung (sehingga kalian tidak
bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi
30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan,
“Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari
adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.
Sebagian
kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam
berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun
ada yang sependapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup
kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan
hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu
Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah
madzhab batil. Sunguh syariat Islam telah melarang seseorang untuk
terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (zhon)
dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat.
Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan
mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali
sedikit”.29
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
Apabila
pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena
terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan
menjadi 30 hari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, ”Dan apabila
mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”30
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Ibnu
Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur
(artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang
namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang
banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan tidak
nampak di muka
bumi
(artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu sama sekali
tidak dikenai hukum baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal
sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika
ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang
mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka
tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang
yang melihat hilal tersebut mengabarkan pada orang banyak. Berita
keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal
berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang
banyak.”31
31 Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110.
32 Majmu’ Al Fatawa, 25/115-116.
33 Majmu’ Al Fatawa, 25/117.
Beliau
rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu
bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal
tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan
begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr
(masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri
dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan).
Allah Ta’ala berfirman,
“Mereka
bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: "Hilal
(bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)32
Ibnu
Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr
(masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan
orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat
hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi
kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak
memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya.
Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan
penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum
muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya
bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Puasa
kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam
Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata, “Berpuasalah bersama
pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian)
baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.” Imam
Ahmad juga mengatakan, “Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum
muslimin”.33
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Berikut
kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad
Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan
Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan:
"Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari
raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan
hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied)
atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa.
Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial
ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah.
Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan,
ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam
ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat
untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawab:
Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu
bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan
tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak
hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam
masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan
teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir
Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat
kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain.
Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah
dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil
yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah
(yang artinya), “Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan
bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185). Begitu juga firman Allah (yang
artinya), “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit).
Katakanlah: "Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189). Mereka juga
sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena
melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan
pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya
perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini
masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih
terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak
mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam
ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda
wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi
perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan
penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu
pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri
tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri
tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama
di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan
kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.34
34
Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388,
10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin
Ghudayan selaku anggota.