Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Memahami makna dan pelaksanaan
persatuan Islam mesti merujuk kepada konsep din yang utuh. Artinya pandangan
dikotomis dalam Islam, seperti dunia-akhirat, jiwa-raga, material-spiritual,
obyektif-subyektif, juga tekstual-kontekstual dan lain sebagainya harus
dihindari.
Model pemahaman yang dikotomis
biasanya dilakukan oleh orientalis atau sekuleris, dan sudah barang tentu
tidaklah menjamin pemahaman aspek yang lain apalagi keseluruhannya. Oleh sebab
itu masalah persatuan umat harus diposisikan sebagai by-product dari proses
ber-Islam dan harus dipahami dalam keseluruhan ke-Islaman, ke-Imanan dan
ke-Ihsanan.
Oleh sebab itu aspek konseptual
dalam ber-Islam harus secara fard ‘ain, sudah dipahami sebelum kita memahami
konsep ‘persatuan’ umat Islam”. Jika tidak, kita akan terjerumus pada persoalan-persoalan
furu’, persoalan teknikal, problem lokal dan hanya akan menghasilkan
penyelesaian yang temporal dan parsial yang ujungnya adalah perselisihan.
Untuk dapat memahami esensi
persatuan dalam Islam kita harus menggunakan terminologi yang tepat yang
terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah. Karena setiap kata dalam al-Qur’an dan
Sunnah memiliki dimensi yang luas yang sarat dengan nilai.
Kalau kita teliti al-Qur’an
dengan seksama kita tidak akan mendapati kata-kata ‘persatuan’ atau ittihad.
Karena kata-kata persatuan saja tidak memiliki nilai dan tujuan, artinya tidak
ada kaitan langsung dengan Islam. Maka dari itu tidak terdapat perintah dalam
al-Qur’an yang berbunyi ittahidu (bersatulah). Terminologi persatuan yang sarat
dengan nilai itu dapat dirujuk pada ayat dibawah ini:
Dan berpeganglah (i’tasimu) kamu
sekalian dengan dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai-cerai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan (allafa) antara hati kamu, lalu
mejadikan kamu dengan nikmat Allah menjadi bersaudara, (ikhwana) dan kamu telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat
petunjuk. (Ali Imran (3) : 103)
Pada ayat diatas kita dapati 3
kata kunci yang penting yaitu: i’tasimu, allafa dan ikhwana (ulfah, I’tisom dan
ukhuwwah) yang kesemuanya merupakan suatu kesatuan proses.
‘Asoma artinya menjaga,
memproteksi, mempertahankan. I’tasoma bi artinya menjaga agar tetap pada
keadaan itu; mencari perlindungan, bertahan pada sesuatu (Hanswer,
Arabic-English, Dictionary).
Tafsir dari kata-kata I’tasimu
diatas ialah berpeganglah kamu pada kitab atau agamaNya (Dr. Muhammad Hasan
al-Hamsi, al-Qur’an, Tafsir wa Bayan). Maka dari itu kata-kata I’tasoma atau
I’tisom memiliki dimensi yang luas dan sarat dengan nilai, karena ia mengandung
arti ber-Islam itu sendiri.
Kebalikan I’tisom (berpegang pada
tali Allah) adalah tafarruq (berpecah belah). Dalam konteks sosial keagamaan
kita makna ayat ini dapat dipahami dari 2 sisi: Pertama, Berarti bahwa agar
tidak berpecah belah umat Islam harus menjaga, mempertahankan dan berpegang
sekaligus pada Kitab dan Sunnah. Kedua, Ketika umat Islam telah berselisih atau
berpecah maka penyelesaiannya adalah kembali kepada Kitab dan Sunnah
Rasulullah.
Jika orang Islam telah
ber-i’tisom maka selanjutnya Allah menjinakkan hati-hati mereka, sehingga dalam
diri mereka timbul rasa kesamaan: Kesamaan din, aqidah dan syari’at. Dari kesamaan
ini kemudian Allah menurunkan nikmatnya yaitu ukhuwwah atau persaudaraan. Ini
dipertegas dalam al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
adalah bersaudara.” Dalam hadis juga dijelaskan bahwa: “Seorang Muslim itu
adalah saudara bagi Muslim lainnya”.
Dari uraian diatas maka dapat
kita simpulkan bahwa terminologi yang tepat untuk persatuan umat Islam adalah
ukhuwwah yang asasnya adalah kesamaan dalam ber-i’tisom: kesamaan tempat
kembali yaitu kitab dan sunnah, kesamaan tujuan mempertahankan agama Allah dan
kesamaan segala sesuatu yang berkaitan dengan ber-islam itu sendiri.
Karena menggunakan istilah dari
hubungan sedarah maka watak dasar ukhuwwah hampir sama dengan hubungan sedarah,
seperti yang ditegaskan dalam hadis Nabi:
Sesungguhnya Allah mengharamkan
atas orang mukmin dari orang mukmin yang lain, darahnya, hartanya,
kehormatannya dan prasangka dengan prasangka buruk. (Hadith Riwayat, al-Hakim
dari Ibn Abbas dari Ibn Abbas)
Watak seseorang dalam melindungi
nyawa, harta, marwah keluarganya serta sikap husnudzdzan adalah “watak asasi
manusia”, dan jika ini dilakukan karena alasan kesamaan agama ia menjadi
ukhuwwah. Bahkan eratnya hubungan ukhuwwah ini oleh nabi diumpamakan sebagai
suatu badan atau bangunan. Sabdanya:
Seumpama saling kasih mengasihi,
saling berlemah lembut, dan saling sayang menyayangi orang beriman (mu’min) itu
laksana satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit niscaya
membuat anngota tubuh lainnya merasa sakit, demam dan tidak dapat tidur
semalaman. Orang mu’min bagi mu’min yang lain adalah seperti bangunan, yang
sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (H.R. Bukhari dan Muslim )
Hadis diatas menunjukkan bahwa
gambaran hubungan ukhuwwah diantara orang-orang beriman adalah benar-benar
asasi dan alami. Allah tidak mengkaitkan perpecahan dengan persatuan, tapi
dengan persaudaraan yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan.
Perintah-perintah untuk tidak
berpecah belah selalu dihubungkan dengan keimanan dan ketakwaan: Sebab itu
bertakwalah pada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu. (al-Anfal: 1,
lihat juga an-Nisa: 59, Ali Imran: 103).
Jadi, tidak ber-ukhuwwah tidak
saja berarti tidak Islami tapi juga tidak manusiawi. Dan ini menunjukkan bahwa
konsep Islam benar-benar sesuai dengan fitrah manusia, yaitu makhluk yang
mengakui keberadaan Tuhan. Kemudian dengan fitrah-nya itu Allah
menyempurnakannya dengan din yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Oleh
sebab itu ukhuwwah secara umum meliputi tiga dimensi penting:
Pertama, dimensi keimanan
(I’tiqadiyyah) yaitu dasar, asas atau tali pengikat segala bentuk hubungan
ukhuwwah baik antar individu maupun antar individu dan masyarakat. Asas itu
adalah i’tisom yang telah disebutkan diatas, yaitu hubungan dengan Allah sang
pencipta.
Hubungan ini dasarnya adalah iman.
Disini setiap individu dituntut untuk memahami dan memiliki ilmu berukhuwwah
sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan seandainya kamu berselisih akan
sesuatu, maka kembalilah pada Allah dan Rasulnya, jika beriman kepada Allah dan
hari akhir (An-Nisa’ : 59).
Persahabatan yang tidak karena
Allah dan tidak merujuk kepada perintahNya bukanlah ukhuwwah. Karena itu
istilah ukhuwwah wathaniyyah tidak relevan dan keluar dari konteks ini. (Hadis
“Mencintai negara adalah sebagian dari iman” adalah hadis Dhaif)
Kedua, dimensi individual
(fardiyyah) yakni ukhuwwah dalam bentuk nyata hubungan antar individu di
masyarakat. Didalamnya terdapat etika hubungan, sikap mental, tutur kata,
solidaritas, belas kasih, timbang rasa dan lain-lain yang telah disebutkan
diatas.
Keseluruhan bentuk hubungan
individu ini tidak lepas dari asas dimensi keimanan. Karena itu Rasulullah
menjelaskan hubungan antara iman dan sikap-sikap kita dalam ber-ukhuwwah dalam
sabdanya: Yang paling kokoh pertalian iman ialah kasih sayang pada jalan Allah
dan marah pada jalan Allah (HR.Ahmad)
Ketiga, dimensi sosial
(ijtima’iyyah), yakni ukhuwwah dalam bentuk hubungan individu dengan
masyarakatnya. Disini kesalehan individual harus disempurnakan dengan kesalehan
sosial.
Bersikap lemah lembut dengan
tetangga, kawan, saudara dan lain-lain tidak cukup jika tidak disertai
kepedulian terhadap urusan umat Islam secara keseluruhan. Sabdanya: Barangsiapa
tidak perduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka.
(H.R. al-Hakim dari Hudzaifah dan ath-Thabrani dari Abu Dzar)
Jadi esensi ber-ukhuwwah adalah
menyeluruh (syamil) mengandung proses beriman dan bertakwa, berbelas kasih
antara individu dan peduli terhadap keadaan umat secara keseluruhan.
Ketiga dimensi ini tidak dapat
dipisah-pisahkan, ia adalah suatu kesatuan. Jika terjadi perselisihan dalam
proses pengamalan ketiga dimensi ini, maka penyelesaian psikologisnya adalah
dengan apa yang disebut ulfah (saling menjinakkan).
Jika seorang muslim tidak mau
dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya maka ia tidak
dapat dapat berukhuwwah. Kemampuan dan kemauan sesorang untuk menjinakkan dan
dijinakkan hatinya adalah tanda keimanannya.
Sebab dalam hadis disebutkan:
“Sesungguhnya yang terlebih dekat kedudukannya kepadaKu ialah yang terbaik
akhlaknya dari pada kamu, yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana
mereka itu menjinakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka".
(H.R. Tabrani dari Jabir). Lihat hadis-hadis senada dibawah ini :
Sabda Nabi yang lain: “Orang
mukmin itu ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan
tiadalah kebajikan pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan
hatinya. (HR. Ahmad dan Tabrani dari Abu Hurairah dan sahih).
Yang amat dikasihi diantara kamu
oleh Allah, ialah mereka yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan
hatinya oleh orang lain. Dan amat dimarahi oleh Allah diantara kamu ialah
orang-orang yang menyebar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama
saudara. (H.R. Tabrani dari Abu Hurairah).
Maka sangat bertentangan dengan
hadis ini jika seseorang itu dianggap dekat dengan Allah tapi tidak dapat
dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya.
Pemahaman kita terhadap makna
ukhuwwah belumlah menunjukkan kesatuan tekstual dan kontekstual. Para
cendekiawan kita dan juga masyarakat luas, di satu sisi, masih terjebak pada
analisa terhadap realitas konflik umat Islam, dan tanpa mencoba mencari letak
kesalahannya dari asas dimana bangunan ukhuwwah itu berdiri.
Dan di sisi lain kita terjebak
pada pemahaman nas (al-Qur’an dan Hadis) yang sempit dan sepihak yang terkadang
disesuaikan dengan kepentingan golongan. Yang terakhir ini dalam al-Qur’an
dicap sebagai: Yucharrifun al-kalima ‘an mawadi’ihi. (Mengalihkan kata-kata
dari konteksnya).
Ukhuwwah antar sesama umat Islam
di Indonesia masih tergolong lemah, hal ini disebabkan oleh kurang sempurnanya
pemahaman masyarakat terhadap esensi ukhuwwah yang pokok utamanya adalah
aqidah.
Dimensi keimanan atau aqidah
dalam ber-ukhuwwah masih tertutupi oleh aspek syari’at-nya, sehingga yang lebih
sering muncul adalah masalah furu’iyyah dan ini mengandung potensi konflik
sangat besar.
Akibatnya dimensi individual dan
sosial dalam berukhuwwah terpengaruh oleh aspek syariat tadi. Fiqih yang
dipelajari dan dikembangkan adalah Fiqih dalam hubungannya dengan ahkam
al-syakhsiyyah dan masih sedikit yang berhubungan dengan ahwal ijtima’iyyah
atau siyayasah syar’iyyah dimana ukhuwwah Islamiyyah merupakan aspek
terpentingnya. Apa yang kemudian nampak adalah bahwa kesalehan individual lebih
diutamakan daripada kesalehan sosial, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan.
Kurangnya aktifitas silaturrahmi
diantara pemimpin umat Islam memberi sumbangan terbesar kepada lemahnya
ukhuwwah ini. Karena dalam masyarakat yang paternalistik ini sikap masyarakat
adalah produk dari sikap pemimpinnya. Karena itu proses ulfah menjadi sulit
dilaksanakan.
Maka dari itu yang sangat urgen
dilaksanakan saat ini adalah memperbanyak frekuensi silaturrahmi antar pemimpin
golongan, partai dan kelompok, dengan agenda saling memahami, mencari kesamaan
dari perbedaan-perbedaan yang ada, dengan niat yang ikhlas, lillah.