Sabtu, 15 April 2017

Ukhuwwah Islamiyyah

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Memahami makna dan pelaksanaan persatuan Islam mesti merujuk kepada konsep din yang utuh. Artinya pandangan dikotomis dalam Islam, seperti dunia-akhirat, jiwa-raga, material-spiritual, obyektif-subyektif, juga tekstual-kontekstual dan lain sebagainya harus dihindari.
Model pemahaman yang dikotomis biasanya dilakukan oleh orientalis atau sekuleris, dan sudah barang tentu tidaklah menjamin pemahaman aspek yang lain apalagi keseluruhannya. Oleh sebab itu masalah persatuan umat harus diposisikan sebagai by-product dari proses ber-Islam dan harus dipahami dalam keseluruhan ke-Islaman, ke-Imanan dan ke-Ihsanan.
Oleh sebab itu aspek konseptual dalam ber-Islam harus secara fard ‘ain, sudah dipahami sebelum kita memahami konsep ‘persatuan’ umat Islam”. Jika tidak, kita akan terjerumus pada persoalan-persoalan furu’, persoalan teknikal, problem lokal dan hanya akan menghasilkan penyelesaian yang temporal dan parsial yang ujungnya adalah perselisihan.
Untuk dapat memahami esensi persatuan dalam Islam kita harus menggunakan terminologi yang tepat yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah. Karena setiap kata dalam al-Qur’an dan Sunnah memiliki dimensi yang luas yang sarat dengan nilai.
Kalau kita teliti al-Qur’an dengan seksama kita tidak akan mendapati kata-kata ‘persatuan’ atau ittihad. Karena kata-kata persatuan saja tidak memiliki nilai dan tujuan, artinya tidak ada kaitan langsung dengan Islam. Maka dari itu tidak terdapat perintah dalam al-Qur’an yang berbunyi ittahidu (bersatulah). Terminologi persatuan yang sarat dengan nilai itu dapat dirujuk pada ayat dibawah ini:
Dan berpeganglah (i’tasimu) kamu sekalian dengan dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai-cerai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan (allafa) antara hati kamu, lalu mejadikan kamu dengan nikmat Allah menjadi bersaudara, (ikhwana) dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran (3) : 103)
Pada ayat diatas kita dapati 3 kata kunci yang penting yaitu: i’tasimu, allafa dan ikhwana (ulfah, I’tisom dan ukhuwwah) yang kesemuanya merupakan suatu kesatuan proses.
‘Asoma artinya menjaga, memproteksi, mempertahankan. I’tasoma bi artinya menjaga agar tetap pada keadaan itu; mencari perlindungan, bertahan pada sesuatu (Hanswer, Arabic-English, Dictionary).
Tafsir dari kata-kata I’tasimu diatas ialah berpeganglah kamu pada kitab atau agamaNya (Dr. Muhammad Hasan al-Hamsi, al-Qur’an, Tafsir wa Bayan). Maka dari itu kata-kata I’tasoma atau I’tisom memiliki dimensi yang luas dan sarat dengan nilai, karena ia mengandung arti ber-Islam itu sendiri.
Kebalikan I’tisom (berpegang pada tali Allah) adalah tafarruq (berpecah belah). Dalam konteks sosial keagamaan kita makna ayat ini dapat dipahami dari 2 sisi: Pertama, Berarti bahwa agar tidak berpecah belah umat Islam harus menjaga, mempertahankan dan berpegang sekaligus pada Kitab dan Sunnah. Kedua, Ketika umat Islam telah berselisih atau berpecah maka penyelesaiannya adalah kembali kepada Kitab dan Sunnah Rasulullah.
Jika orang Islam telah ber-i’tisom maka selanjutnya Allah menjinakkan hati-hati mereka, sehingga dalam diri mereka timbul rasa kesamaan: Kesamaan din, aqidah dan syari’at. Dari kesamaan ini kemudian Allah menurunkan nikmatnya yaitu ukhuwwah atau persaudaraan. Ini dipertegas dalam al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” Dalam hadis juga dijelaskan bahwa: “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya”.
Dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan bahwa terminologi yang tepat untuk persatuan umat Islam adalah ukhuwwah yang asasnya adalah kesamaan dalam ber-i’tisom: kesamaan tempat kembali yaitu kitab dan sunnah, kesamaan tujuan mempertahankan agama Allah dan kesamaan segala sesuatu yang berkaitan dengan ber-islam itu sendiri.
Karena menggunakan istilah dari hubungan sedarah maka watak dasar ukhuwwah hampir sama dengan hubungan sedarah, seperti yang ditegaskan dalam hadis Nabi:
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang mukmin dari orang mukmin yang lain, darahnya, hartanya, kehormatannya dan prasangka dengan prasangka buruk. (Hadith Riwayat, al-Hakim dari Ibn Abbas dari Ibn Abbas)
Watak seseorang dalam melindungi nyawa, harta, marwah keluarganya serta sikap husnudzdzan adalah “watak asasi manusia”, dan jika ini dilakukan karena alasan kesamaan agama ia menjadi ukhuwwah. Bahkan eratnya hubungan ukhuwwah ini oleh nabi diumpamakan sebagai suatu badan atau bangunan. Sabdanya:
Seumpama saling kasih mengasihi, saling berlemah lembut, dan saling sayang menyayangi orang beriman (mu’min) itu laksana satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit niscaya membuat anngota tubuh lainnya merasa sakit, demam dan tidak dapat tidur semalaman. Orang mu’min bagi mu’min yang lain adalah seperti bangunan, yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (H.R. Bukhari dan Muslim )
Hadis diatas menunjukkan bahwa gambaran hubungan ukhuwwah diantara orang-orang beriman adalah benar-benar asasi dan alami. Allah tidak mengkaitkan perpecahan dengan persatuan, tapi dengan persaudaraan yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan.
Perintah-perintah untuk tidak berpecah belah selalu dihubungkan dengan keimanan dan ketakwaan: Sebab itu bertakwalah pada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu. (al-Anfal: 1, lihat juga an-Nisa: 59, Ali Imran: 103).
Jadi, tidak ber-ukhuwwah tidak saja berarti tidak Islami tapi juga tidak manusiawi. Dan ini menunjukkan bahwa konsep Islam benar-benar sesuai dengan fitrah manusia, yaitu makhluk yang mengakui keberadaan Tuhan. Kemudian dengan fitrah-nya itu Allah menyempurnakannya dengan din yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu ukhuwwah secara umum meliputi tiga dimensi penting:
Pertama, dimensi keimanan (I’tiqadiyyah) yaitu dasar, asas atau tali pengikat segala bentuk hubungan ukhuwwah baik antar individu maupun antar individu dan masyarakat. Asas itu adalah i’tisom yang telah disebutkan diatas, yaitu hubungan dengan Allah sang pencipta.
Hubungan ini dasarnya adalah iman. Disini setiap individu dituntut untuk memahami dan memiliki ilmu berukhuwwah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan seandainya kamu berselisih akan sesuatu, maka kembalilah pada Allah dan Rasulnya, jika beriman kepada Allah dan hari akhir (An-Nisa’ : 59).
Persahabatan yang tidak karena Allah dan tidak merujuk kepada perintahNya bukanlah ukhuwwah. Karena itu istilah ukhuwwah wathaniyyah tidak relevan dan keluar dari konteks ini. (Hadis “Mencintai negara adalah sebagian dari iman” adalah hadis Dhaif)
Kedua, dimensi individual (fardiyyah) yakni ukhuwwah dalam bentuk nyata hubungan antar individu di masyarakat. Didalamnya terdapat etika hubungan, sikap mental, tutur kata, solidaritas, belas kasih, timbang rasa dan lain-lain yang telah disebutkan diatas.
Keseluruhan bentuk hubungan individu ini tidak lepas dari asas dimensi keimanan. Karena itu Rasulullah menjelaskan hubungan antara iman dan sikap-sikap kita dalam ber-ukhuwwah dalam sabdanya: Yang paling kokoh pertalian iman ialah kasih sayang pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah (HR.Ahmad)
Ketiga, dimensi sosial (ijtima’iyyah), yakni ukhuwwah dalam bentuk hubungan individu dengan masyarakatnya. Disini kesalehan individual harus disempurnakan dengan kesalehan sosial.
Bersikap lemah lembut dengan tetangga, kawan, saudara dan lain-lain tidak cukup jika tidak disertai kepedulian terhadap urusan umat Islam secara keseluruhan. Sabdanya: Barangsiapa tidak perduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka. (H.R. al-Hakim dari Hudzaifah dan ath-Thabrani dari Abu Dzar)
Jadi esensi ber-ukhuwwah adalah menyeluruh (syamil) mengandung proses beriman dan bertakwa, berbelas kasih antara individu dan peduli terhadap keadaan umat secara keseluruhan.
Ketiga dimensi ini tidak dapat dipisah-pisahkan, ia adalah suatu kesatuan. Jika terjadi perselisihan dalam proses pengamalan ketiga dimensi ini, maka penyelesaian psikologisnya adalah dengan apa yang disebut ulfah (saling menjinakkan).
Jika seorang muslim tidak mau dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya maka ia tidak dapat dapat berukhuwwah. Kemampuan dan kemauan sesorang untuk menjinakkan dan dijinakkan hatinya adalah tanda keimanannya.
Sebab dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya yang terlebih dekat kedudukannya kepadaKu ialah yang terbaik akhlaknya dari pada kamu, yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana mereka itu menjinakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka". (H.R. Tabrani dari Jabir). Lihat hadis-hadis senada dibawah ini :
Sabda Nabi yang lain: “Orang mukmin itu ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya. (HR. Ahmad dan Tabrani dari Abu Hurairah dan sahih).
Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan amat dimarahi oleh Allah diantara kamu ialah orang-orang yang menyebar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara. (H.R. Tabrani dari Abu Hurairah).
Maka sangat bertentangan dengan hadis ini jika seseorang itu dianggap dekat dengan Allah tapi tidak dapat dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya.
Pemahaman kita terhadap makna ukhuwwah belumlah menunjukkan kesatuan tekstual dan kontekstual. Para cendekiawan kita dan juga masyarakat luas, di satu sisi, masih terjebak pada analisa terhadap realitas konflik umat Islam, dan tanpa mencoba mencari letak kesalahannya dari asas dimana bangunan ukhuwwah itu berdiri.
Dan di sisi lain kita terjebak pada pemahaman nas (al-Qur’an dan Hadis) yang sempit dan sepihak yang terkadang disesuaikan dengan kepentingan golongan. Yang terakhir ini dalam al-Qur’an dicap sebagai: Yucharrifun al-kalima ‘an mawadi’ihi. (Mengalihkan kata-kata dari konteksnya).
Ukhuwwah antar sesama umat Islam di Indonesia masih tergolong lemah, hal ini disebabkan oleh kurang sempurnanya pemahaman masyarakat terhadap esensi ukhuwwah yang pokok utamanya adalah aqidah.
Dimensi keimanan atau aqidah dalam ber-ukhuwwah masih tertutupi oleh aspek syari’at-nya, sehingga yang lebih sering muncul adalah masalah furu’iyyah dan ini mengandung potensi konflik sangat besar.
Akibatnya dimensi individual dan sosial dalam berukhuwwah terpengaruh oleh aspek syariat tadi. Fiqih yang dipelajari dan dikembangkan adalah Fiqih dalam hubungannya dengan ahkam al-syakhsiyyah dan masih sedikit yang berhubungan dengan ahwal ijtima’iyyah atau siyayasah syar’iyyah dimana ukhuwwah Islamiyyah merupakan aspek terpentingnya. Apa yang kemudian nampak adalah bahwa kesalehan individual lebih diutamakan daripada kesalehan sosial, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan.
Kurangnya aktifitas silaturrahmi diantara pemimpin umat Islam memberi sumbangan terbesar kepada lemahnya ukhuwwah ini. Karena dalam masyarakat yang paternalistik ini sikap masyarakat adalah produk dari sikap pemimpinnya. Karena itu proses ulfah menjadi sulit dilaksanakan.
Maka dari itu yang sangat urgen dilaksanakan saat ini adalah memperbanyak frekuensi silaturrahmi antar pemimpin golongan, partai dan kelompok, dengan agenda saling memahami, mencari kesamaan dari perbedaan-perbedaan yang ada, dengan niat yang ikhlas, lillah.