Rabu, 17 November 2021

Ijab kabul Dalam Jual Beli

Ketentuan Ekonomi Syariah

Ijab kabul Dalam Jual Beli

Ijab dan kabul terdiri dari qaulun (perkataan) dan fi'lun (perbuatan). Qaulun dapat dilakukan dengan lafal sharih (kata-kata yang jelas) dan lafal kinayah (kata kiasan/sindiran). Lafal sharih ialah sighat jual beli yang tidak mengandung makna selain dari jual beli. Misalnyaبعتك هذهلاالسلعة بكذا  (saya menjual kepadamu ini barang dengan harga sekian), dan kemudian dijawab استريتها منك بكذا(saya membelinya dari kamu dengan harga sekian).[1] Lafal kinayah ialah lafal yang di samping menunjukkan makna jual beli juga dapat menunjukkan kepada arti selain jual beli. Misalnya perkataan si penjual اعطيتك هذا الثوب (saya memberi kamu baju ini dengan baju itu) atau اعطيتك تلك الدبّة بتلك (saya memberi kamu binatang itu dengan itu). Lafal (اعطيتك) tersebut dapat mengandung makna "jual beli" dan makna "pinjam meminjam." Apabila lafal tersebut dimaksudkan jual beli, niat tersebut sah. Apabila lafal kinayah tersebut disertai penyebutan harga, maka lafal kinayah tersebut menjadi lafal sharih. Misalnya:وهبتك هذه الدار بمائة دينار(saya beri kamu rumah ini dengan uang pengganti seratus dinar).  الهبهdi atas apabila tidak disertai penyebutan harga, maka menunjukkan makna hibah, tetapi jika disertai penyebutan harga seperti di atas maka menunjukkan makna jual beli. Demikian juga setiap lafal yang mempunyai makna tamlik apabila disertai penyebutan harga, maka lafal tersebut menjafi lafal yang sharih.[2] Adapun shighat berupa fi'lun (perbuatan) adalah berwujud serah terima yaitu menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu perkataan pun. Misalnya: seseorang membeli sesuatu barang yang harganya sudah dia ketahui, kemudian ia (pembeli) menerimanya dari penjual dan dia (pembeli) menyerahkan harganya kepada penjual, maka dia (pembeli) sudah dinyatakan memiliki barang tersebut karena dia (pembeli) telah menerimanya. Sama juga barang itu sedikit (barang kecil) seperti roti, telur dan yang sejenis menurut adat dibelinya dengan sendirisendiri, maupun berupa barang yang banyak (besar) seperti baju yang berharga.[3]

Shighat berupa fi'lun (perbuatan) merupakan cara lain untuk membentuk 'akad dan paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sorang pembeli menyerahkan sejumlah uang; kemudian penjual menyerahkan barang kepada pembeli. Cara ini disebut jual beli dengan saling menyerahkan harga dan barang atau disebut juga mu'athah. Demikian pula ketika seseorang naik bus menuju ke suatu tempat; tanpa kata-kata atau ucapan (sighat) penumpang tersebut langsung menyerahkan uang seharga karcis sesuai dengan jarak yang ditempuh. Sewa menyewa ini disebut juga dengan mu'athah. Selanjutnya, dalam dunia modern sekarang ini, 'akad jual beli dapat terjadi secara otomatis dengan menggunakan mesin. Dengan memasukkan uang ke mesin, maka akan keluar barang sesuai dengan jumlah uang yang dimasukkan. Demikian juga, pembelian barang dengan menggunakan credit card (kartu kredit), transaksi dengan pihak bank melalui mesin otomatis, dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa yang terpenting dalam cara mu'athah ini, untuk menumbuhkan akad maka jangan sampai terjadi pengecohan atau penipuan.

Segala sesuatu harus diketahui secara jelas; atau transparan. Suatu 'akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam 'akad jual beli, misalnya, 'akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik sipenjual. Sedangkan 'akad dalam pegadaian dan kafalah (pertanggungan) dianggap telah berakhir apabila utang telah dibayar.[4]

Rukun yang pokok dalam akad (perjanjian) jual-beli itu adalah ijab-kabul yaitu ucapan penyerahan hak milik di satu pihak dan ucapan penerimaan di pihak lain. Adanya ijab-kabul dalam transaksi ini merupakan indikasi adanya saling ridha dari pihak-pihak yang mengadakan transaksi.

Transaksi berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat saling ridha yang menjadi kriteria utama dan sahnya suatu transaksi. Namun suka saling ridha itu merupakan perasaan yang berada pada bagian dalam dari manusia, yang tidak mungkin diketahui orang lain. Oleh karenanya diperlukan suatu indikasi yang jelas yang menunjukkan adanya perasaan dalam tentang saling ridha itu. Para ulama terdahulu menetapkan ijab-kabul itu sebagai suatu indikasi.[5]

عن ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلعم قال: لايفترقن اثنان الا عن تراض [6]

Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. dari Nabi SAW. bersabda: janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai"(Riwayat Abu Daud danTirmidzi).

Ijab-kabul adalah salah satu bentuk indikasi yang meyakinkan tentang adanya rasa suka sama suka. Bila pada waktu ini dapat menemukan cara lain yang dapat ditempatkan sebagai indikasi seperti saling mengangguk atau saling menanda tangani suatu dokumen, maka yang demikian telah memenuhi unsur suatu transaksi. Umpamanya transaksi jual-beli di supermarket, pembeli telah menyerahkan uang dan penjual melalui petugasnya di counter telah memberikan slip tanda terima, sahlah jual-beli itu.

Dalam literatur fiqih muamalah terdapat pengertian ijab dan kabul dengan berbagai rumusan yang bervariasi namun intinya sama. Misalnya dalam buku fiqih muamalah susunan Hendi Suhendi dijelaskan bahwa ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab.[7] Menurut madzhab Hanafi, ijab ialah sesuatu yang keluar pertama kali dari salah satu dari dua orang yang mengadakan akad. Baik dari si penjual, seperti ucapan: “saya menjual kepadamu barang ini” maupun dari si pembeli, seperti ucapan: “saya membeli barang ini dengan harga seribu”, kemudian si penjual menjawab: “barang itu aku jual kepadamu”. Sedangkan “kaul” ialah sesuatu yang keluar kedua (sesudah ijab).[8]

Dalam buku Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, terdapat penjelasan, dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan oleh penjual, sedangkan kabul adalah ucapan setuju dan rela yang berasal dari pembeli.[9] Rachmat Syafe’i dengan mengutip ulama Hanafiyah dalam redaksi yang berbeda dengan di atas mengatakan: ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan kabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridaan atas ucapan orang pertama.[10]

Dari rumusan-rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama.

Dalam hubungannya dengan ijab kabul, bahwa syarat-syarat sah ijab kabul ialah:

1. Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeli diam saja setelah penjual  menyatakan ijab dan sebaliknya.

2. Jangan diselangi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.

3. Beragama Islam, Syarat beragama Islam khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin.

Menurut fuqaha Hanafiyah terdapat empat macam syarat yang harus jual beli.[11]

Fuqaha Malikiyah merumuskan tiga macam syarat jual beli: berkaitan dengan 'aqid, berkaitan dengan sighat dan syarat yang berkaitan dengan obyek jual beli. Syarat yang berkaitan dengan 'aqid: (a) mumayyiz, (b) cakap hukum, (c) berakal sehat, (d) pemilik barang. Syarat yang berkaitan dengan shigat: (a) dilaksanakan dalam satu majlis, (b) antara ijab dan kabul tidak terputus. Syarat yang berkaitan dengan obyeknya: (a) tidak dilarang oleh syara', (b) suci, (c) bermanfaat, (d) diketahui oleh 'aqid, (e) dapat diserahterimakan.[12]

Menurut mazhab Syafi'iyah, syarat yang berkaitan dengan 'aqid: (a) al-rusyd, yakni baligh, berakal dan cakap hukum, (b) tidak dipaksa, (c) Islam, dalam hal jual beli Mushaf dan kitab Hadis, (d) tidak kafir harbi dalam hal jual beli peralatan perang. Fuqaha Syafi'iyah merumuskan dua kelompok persyaratan: yang berkaitan dengan ijab-kabul dan yang berkaitan dengan obyek jual beli.

Syarat yang berkaitan dengan ijab-kabul atau shigat akad:

1. Berupa percakapan dua pihak (khithobah)

2. Pihak pertama menyatakan barang dan harganya

3. Kabul dinyatakan oleh pihak kedua (mukhathab)

4. Antara ijab dan kabul tidak terputus dengan percakapan lain,

5. Kalimat kabul tidak berubah dengan kabul yang baru

6. Terdapat kesesuaian antara ijab dan kabul

7. Shighat akad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain

8. Tidak dibatasi dalam periode waktu tertentu

Syarat yang berkaitan dengan obyek jual-beli:

1. Harus suci

2. Dapat diserah-terimakan

3. Dapat dimanfaatkan secara syara'

4. Hak milik sendiri atau milik orang lain dengan kuasa atasnya

5. Berupa materi dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.[13]

Fuqaha Hambali merumuskan dua kategori persyaratan: yang berkaitan dengan 'aqid (para pihak) dan yang berkaitan dengan shighat, dan yang berkaitan dengan obyek jual-beli. Syarat yang berkaitan dengan para pihak:

1. Al-Rusyd (baligh dan berakal sehat) kecuali dalam jual-beli barang-barang yang ringan

2. Ada kerelaan

Syarat yang berkaitan dengan shighat

1. Berlangsung dalam satu majlis

2. Antara ijab dan kabul tidak terputus

3. Akadnya tidak dibatasi dengan periode waktu tertentu Syarat yang berkaitan dengan obyek

1. Berupa mal (harta)

2. Harta tersebut milik para pihak

3. Dapat diserahterimakan

4. Dinyatakan secara jelas oleh para pihak

5. Harga dinyatakan secara jelas

6. Tidak ada halangan syara.[14]

Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya jual beli bangkai, khamer dan babi adalah batal atau tidak sah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Sabda Rasullullah SAW.

حدّثنا قتيبة الليث عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍعن جبربن عبدالله رضي الله أنه سمع رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول وهو بمكّة عام الفتح أّن الله ورسوله حرّم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام فقيل يا رسول الله أرأيت ِحوك الميتة فأنّها يطلى بها السّفن ويدهن بها الجلود ويستصبح بها النّاس فقال لأهو حرام (رواه البخاري)[15]

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Qutaibah dari al-Laits dari Yazid bin Abi Habib dari 'Atha' bin Abi Rabah dari Jabir bin 'Abdullah ra telah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: tahun pembukaan di Makkah: sesungguhnya Allah mengharamkan jualbeli khamer (minuman keras), bangkai, babi dan berhala" Kemudian seseorang bertanya: "Bagaimana tentang lemak bangkai, karena banyak yang menggunakannya sebagai pelapis perahu dan, meminyaki kulit dan untuk bahan bakar lampu?" Rasulullah SAW. menjawab: "Tidak boleh, semua itu adalah haram". (H.R. al- Bukhari)

Mengenai benda-benda najis selain yang dinyatakan di dalam hadis di atas fuqaha berselisih pandangan. Menurut Mazhab Hanafiyah dan Dhahiriyah, benda najis yang bermanfaat selain yang dinyatakan dalam hadis di atas, boleh diperjualbelikan sepanjang tidak untuk dimakan sah diperjualbelikan, seperti kotoran ternak. Kaidah umum yang populer dalam mazhab ini adalah:

ان كل مافية منفعة تحل شرعا فإن بيعه يجوز [16]

Artinya: Segala sesuatu yang mengandung manfaat yang dihalalkan oleh

syara' boleh dijual-belikan.

Dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, mazhab Hanafi[17] menegaskan:

Ijab kabul Dalam Jual Beli


Artinya: Mereka berkata: Boleh menjualbelikan minyak yang terkena najis dan memanfaatkannya selain untuk makan. Sebagaimana boleh memperjualbelikan kotoran yang tercampur dengan debu dan memanfaatkannya dan kotoran binatang atau pupuk meskipun dia najis barangnya. Bahwasanya yang mereka larang adalah memperjual belikan bangkai, kulit bangkai sebelum disamak, babi dan arak.



[1] 2Abd Arrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972, Juz III, hlm.325

[2] Abd Arrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al Fikr, 1972, Juz III, hlm. 326

[3] Abd Arrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972, Juz III, hlm. 319

[4] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm. 65.

[5] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 195

[6] Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abi Daud, Kairo: Tijarriyah Kubra, 1354 H/1935 M, hlm. 324.

[7] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.

[8] Abd al-Rahman al-Jaziri,, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 320.

[9] Muhammad Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: BPFE, 2004, hlm. 155.

[10] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 45.

[11] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz, IV, Beirut: Dar al-Fkr, 1989,  hlm. 149

[12] Ibid, hlm. 387 – 388.

[13] Ibid., hlm. 389 – 393.

[14] Ibid., hlm. 393 – 397ز

[15]  Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al- Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz 3, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 35.

[16] Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Jilid III, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 17.

[17] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1972, hlm. 137.