Jual Beli Benda yang Kelihatan
Jual
beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli
ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari
segi obyek jual beli, dan dari segi pelaku jual beli. Ditinjau dari segi benda
yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin[1]
bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk: 1) jual beli benda yang kelihatan
2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan 3) jual beli benda
yang tidak ada.
Jual
beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau
barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli, hal ini lazim
dilakukan masyarakat banyak, seperti membeli beras di pasar dan boleh
dilakukan.
Jual
beli itu dihalalkan, dibenarkan agama, asal memenuhi syaratsyarat yang
diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama’ Mujtahidin)
tak ada khilaf padanya. Memang dengan tegas-tegas al-Qur’an menerangkan bahwa
menjual itu halal, sedang riba diharamkan.[2]
Sejalan dengan itu dalam jual beli ada persyaratan yang harus dipenuhi, di
antaranya menyangkut barang yang dijadikan objek jual beli yaitu barang yang
diakadkan harus ada di tangan si penjual, artinya barang itu ada di tempat,
diketahui dan dapat dilihat pembeli pada waktu akad itu terjadi. Hal ini
sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq[3]:
وامّاالمعقود عليه
فيشترط فيه ستة شروط: ( 1) طهارة العين ( 2) الإنتفاع
( به ( 3) ملكيه العاقد
له ( 4) القدرة على تسليمة ( 5) العلم به ( 6
كون المبيع مقبوضا
Artinya:
Adapun tentang syarat barang yang diakadkan ada enam yaitu
(1)
bersihnya barang. (2) dapat dimanfaatkan. (3) milik orang yang melakukan akad.
(4) mampu menyerahkannya. (5) mengetahui. (6) barang yang diakadkan ada di
tangan.
2.
Jual Beli yang Disebutkan Sifat-Sifatnya dalam Janji
Jual
beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam
(pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang
tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau
sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian sesuatu
yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai
imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
Dasar
hukum jual beli salam dapat dilihat dalam hadis[4]
sebagai berikut:
Artinya:
Telah mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Muhammad al-Nufaily dari Sufyan
dari Ibnu Abi Najih dari Abdullah bin Kasir dari Abi al-Minhal dari Ibnu Abbas
ra. Telah berkata Rasulullah Saw: jika kamu melakukan jual beli salam, maka
lakukanlah dalam ukuran tertentu, timbangan tertentu, dan waktu tertentu. (HR
Ibn Majah).
Dalam
salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya ialah:
1.
Ketika melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau
oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang maupun diukur.
2.
Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan
memperendah harga barang itu, umpamanya benda tersebut berupa kapas,
sebutkanlah jenis kapas saclarides nomor satu, nomor dua dan seterusnya, kalau
kain, maka sebutkanlah jenis kainnya, pada intinya sebutkanlah semua
identitasnya yang dikenal oleh orang-orang yang ahli di bidang ini, yang
menyangkut kualitas barang tersebut.
3.
Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa didapatkan di
pasar.
4.
Harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.[5]
3.
Jual Beli Benda yang Tidak ada
Menurut
Abu Bakr al-Jazairi, seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada
padanya atau sesuatu yang belum dimilikinya, karena hal tersebut menyakiti pembeli
yang tidak mendapatkan barang yang dimilikinya.[6]
Dalam
kaitan ini Ibnu Rusyd menjelaskan, barang-barang yang diperjual belikan itu ada
dua macam: pertama, barang yang benar-benar ada dan dapat dilihat, ini tidak
ada perbedaan pendapat. Kedua, barang yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat
dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi, maka untuk hal ini terjadi
perbedaan pendapat di antara para ulama. Menurut Imam Malik dibolehkan jual
beli barang yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di
tempat akad itu terjadi, demikian pula pendapat Abu Hanifah. Namun demikian
dalam
pandangan
Malik bahwa barang itu harus disebutkan sifatnya, sedangkan dalam pandangan Abu
Hanifah tidak menyebutkan sifatnya pun boleh.[7]
Pandangan
kedua ulama tersebut (Imam Malik dan Abu Hanifah) berbeda dengan pandangan Imam
al-Syafi'i yang tidak membolehkan jual beli barang yang tidak hadir (gaib) atau
tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi.
Menurut
Sayyid Sabiq, boleh menjualbelikan barang yang pada waktu dilakukannya akad
tidak ada di tempat, dengan syarat kriteria barang tersebut terperinci dengan
jelas. Jika ternyata sesuai dengan informasi, jual beli menjadi sah, dan jika
ternyata berbeda, pihak yang tidak menyaksikan (salah satu pihak yang melakukan
akad) boleh memilih: menerima atau tidak. Tak ada bedanya dalam hal ini, baik
pembeli maupun penjual.[8]
[1] Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtishar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 329.
[2] T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2, hlm. 328.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, Juz III, hlm. 150
[4] Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah al-Qazwini, hadis No. 2065 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 76.
[6] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim: Kitab Aqa'id wa Adab wa Ahlaq wa Ibadah wa Mua'amalah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 2004, hlm. 297.
[7] Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 116 – 117.
[8] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, Juz III, hlm. 155.