Para
ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat bahwa fidyah dalam
puasa dikenai pada orang yang tidak mampu menunaikan qodho’ puasa. Hal
ini berlaku pada orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi
berpuasa, serta orang sakit dan sakitnya tidak kunjung sembuh.
Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman AllahTa’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS.
Al Baqarah: 184).[1]
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan,
هُوَ
الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ
يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
“(Yang
dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua
dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka
memberi makan setiap hari kepada orang miskin”.[2]
Jenis dan Kadar Fidyah
Ulama
Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa kadar fidyah adalah 1 mud
bagi setiap hari tidak berpuasa. Ini juga yang dipilih oleh Thowus,
Sa’id bin Jubair, Ats Tsauri dan Al Auza’i. Sedangkan ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa kadar fidyah yang wajib adalah dengan 1 sho’ kurma,
atau 1 sho’ sya’ir (gandum) atau ½ sho’ hinthoh (biji gandum). Ini
dikeluarkan masing-masing untuk satu hari puasa yang ditinggalkan dan
nantinya diberi makan untuk orang miskin.[3]
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa fidyah satu mud bagi setiap hari yang ditinggalkan”.[4]
Beberapa
ulama belakangan seperti Syaikh Ibnu Baz[5], Syaikh Sholih Al Fauzan[6]
dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa
Saudi Arabia)[7] mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah setengah sho’
dari makanan pokok di negeri masing-masing (baik dengan kurma, beras dan
lainnya). Mereka mendasari ukuran ini berdasarkan pada fatwa beberapa
sahabat di antaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ukuran 1 sho’ sama dengan 4 mud. Satu sho’ kira-kira 3 kg. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg.
Yang
lebih tepat dalam masalah ini adalah dikembalikan pada ‘urf (kebiasaan
yang lazim). Maka kita dianggap telah sah membayar fidyah jika telah
memberi makan kepada satu orang miskin untuk satu hari yang kita
tinggalkan.[8]
Fidyah Tidak Boleh Diganti Uang
Perlu
diketahui bahwa tidak boleh fidyah yang diwajibkan bagi orang yang
berat berpuasa diganti dengan uang yang senilai dengan makanan karena
dalam ayat dengan tegas dikatakan harus dengan makanan. Allah Ta’ala
berfirman,
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Membayar fidyah dengan memberi makan pada orang miskin.”
Syaikh
Sholih Al Fauzan hafizhohullah mengatakan, “Mengeluarkan fidyah tidak
bisa digantikan dengan uang sebagaimana yang penanya sebutkan. Fidyah
hanya boleh dengan menyerahkan makanan yang menjadi makanan pokok di
daerah tersebut. Kadarnya adalah setengah sho’ dari makanan pokok yang
ada yang dikeluarkan bagi setiap hari yang ditinggalkan. Setengah sho’
kira-kira 1½ kg. Jadi, tetap harus menyerahkan berupa makanan
sebagaimana ukuran yang kami sebut. Sehingga sama sekali tidak boleh
dengan uang. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Membayar
fidyah dengan memberi makan pada orang miskin.” Dalam ayat ini sangat
jelas memerintah dengan makanan.”[9]
Cara Pembayaran Fidyah
Inti
pembayaran fidyah adalah mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan
dengan memberi makan satu orang miskin. Namun, model pembayarannya dapat
diterapkan dengan dua cara,
1.
Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah
hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini
dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja
(dan tidak sanggup berpuasa)[10].
2.
Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak.
Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan
lauk.[11]
Pemberian
ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari
disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya
kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari.[12] Al Mawardi mengatakan,
“Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal
ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”[13]
Waktu Pembayaran Fidyah
Seseorang
dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan
puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana
dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah tua[14].
Yang
tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan
sebelum Ramadhan. Misalnya: Ada orang yang sakit yang tidak dapat
diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah
datang, dia sudah lebih dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini
tidak diperbolehkan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar
telah masuk, barulah ia boleh membayarkan fidyah ketika hari itu juga
atau bisa ditumpuk di akhir Ramadhan.[15]
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di Panggang-GK, Senin 30 Rajab 1431 H (12/07/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
________________________________________
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1586.
[2] HR. Bukhari no. 4505.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11538.
[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/21.
[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/203.
[6] Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66886.
[7] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198.
[8] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’, 2/30-31.
[9] Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66886.
[10] Lihat Irwaul Gholil, 4/21-22 dengan sanad yang shahih.
[11] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’, 2/22.
[12] Lihat penjelasan dalam Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198.
[13] Al Inshof, 5/383.
[14] Lihat Irwaul Gholil, 4/21-22 dengan sanad yang shahih.
[15] Lihat Syarhul Mumthi’, 2/22.