Senantiasa
berusaha bermuka manis dan menebarkan salam, juga menunaikan hak-hak
kaum muslimin, termasuk mereka yang memiliki penyimpangan jika tidak
disyariatkan padanya penerapan metode hajr, Metode menyikapi orang yang
menyimpang dari ajaran Islam ada dua. Yaitu: metode ta’lif dan metode
hajr. Dua metode ini dibenarkan di dalam syari’at Islam dan pernah
diterapkan kedua-duanya oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam.
Metode ta’lif adalah: pendekatan terhadap orang yang bersalah, dengan bermuka manis, berziarah, menjawab salam, menasehati dengan lemah lembut dan sikap-sikap simpatik lainnya yang mendekatkan orang yang bersalah terhadap diri orang yang akan menasehati, sehingga dia menerima nasehat yang disampaikan. (Lihat: al-‘Awashim wa al-Qawashim karya Imam Ibn al-Wazir rahimahullah: I/228).
Metode hajr adalah: Memutus hubungan dengan orang yang bersalah; tidak salam, tidak senyum, tidak menziarahinya dan sikap-sikap keras lainnya yang diharapkan bisa memberikan pelajaran terhadap orang yang bersalah, sehingga dia kembali kepada al-haq. (Lihat: Syarh Lum’ah al-I’tiqad karya Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah hal. 159).
Para ulama telah menjelaskan bahwa dua metode ini sama-sama disyari’atkan di dalam agama Islam dan pernah diterapkan kedua-duanya oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fatawa (XXVIII/206) menjelaskan, “Penerapan metode ta’lif terhadap sebagian orang terkadang lebih bermanfaat baginya daripada metode hajr, begitupula penerapan metode hajr bagi sebagian yang lain terkadang lebih bermanfaat baginya daripada metode ta’lif. Oleh karena itu Nabi shallallahu’alaihiwasallam menerapkan metode ta’lif kepada sebagian orang dan menerapkan metode hajr kepada sebagian yang lain”. (Lihat perkataan yang serupa dalam kitab Minhaj as-Sunnah: I/63-65).
Imam Ibn al-Wazir rahimahullah dalam kitabnya al-‘Awashim wa al-Qawashim (I/228-229) memberikan keterangan serupa, “Metode keempat (di antara metode-metode dakwah) adalah: nasehat. Dan nasehat ini ada dua modelnya: (1) ta’lif dan hasungan. (2) menakut-nakuti dan tarhib (ancaman). Masing-masing dari dua model ini memiliki tempat yang cocok dan kondisi yang tepat baginya; oleh sebab itu (kita dapatkan) ayat-ayat al-Qur’an bervariasi (ada yang memerintahkan ta’lif dan ada yang memerintahkan tarhib)”.
Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanya kapankah kita menghajr ahlul bid’ah, beliau menjelaskan dengan panjang lebar dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah (IX/423-424), lalu memberikan kesimpulan, “Kesimpulannya: Sesungguhnya (pendapat) yang kuat dan yang lebih utama adalah mempertimbangkan maslahat syar’iyyah dalam hal ini (hajr atau ta’lif); karena Nabi shallallahu’alaihiwasallam menghajr sebagian orang dan tidak menghajr sebagian yang yang lain, karena beliau mempertimbangkan maslahat syar’iyyah islamiyyah (dalam hal ini)”.
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafizhahullah dalam Nashihah li asy-Syabab (hal. 3) menerangkan, “Seorang da’i ketika mendakwahi umat, dia memiliki dua metode syar’i yang keduanya berlandaskan dalil: metode ta’lif dan targhib (hasungan), serta metode hajr dan tarhib (ancaman). Merupakan bentuk kekeliruan bila ada orang yang berusaha untuk menerapkan salah satu dari dua metode ini kepada seluruh manusia. Yang benar dalam menyikapi orang yang keliru adalah seorang da’i berusaha untuk menerapkan metode yang lebih bisa menarik dia untuk menerima al-haq dan kembali kepadanya. Jika metode ta’lif lebih bermanfaat bagi orang yang bersalah dan lebih diharapkan bisa untuk memperbaikinya maka metode itu yang disyariatkan untuk diterapkan padanya. Sebaliknya jika metode hajr lebih bermanfaat baginya, maka metode itulah yang disyariatkan untuk diterapkan padanya. Jadi barang siapa yang menerapkan metode ta’lif terhadap orang yang seharusnya dihajr berarti dia termasuk golongan yang menyepelekan (kesalahan), kebalikannya barang siapa yang menerapkan metode hajr terhadap orang yang seharusnya dita’lif, berarti dia termasuk golongan yang bersikap keras berlebihan”.
Berikut contoh penerapan masing-masing dari metode ini oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam:
Contoh dari penerapan Nabi shallallahu’alaihiwasallam metode ta’lif:
- Sabda beliau shallallahu’alaihiwasallam,
(إني لأعطي الرجل وغيره أحب إلي منه؛ خشية أن يكبه الله في النار).
“Sesungguhnya terkadang aku memberi seseorang (suatu hadiah) padahal orang yang lain lebih aku cintai; karena aku takut Allah akan memasukkannya ke dalam neraka”. (HR. Bukhari: no. 27 dan Muslim: I/132 no. 150). Lihat hadits yang semakna dalam Shahih Bukhari (no. 923 dan no. 7535).
- Ta’lif beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap dedengkot kaum munafiqin: Abdullah bin Ubay bin Salul. (HR. Bukhari: no. 3518 dan Muslim: IV/1998 no. 2584).
- Ta’lif beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap kaum munafiqin secara umum berdasarkan perintah Allah ta’ala dalam QS. Al-Ahzab: 48 (yang artinya), “Janganlah kamu hiraukan gangguan mereka”. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah Allah memerintahkan nabi shallallahu’alaihiwasallam agar bersabar, memaafkan kesalahan mereka dan tidak menghukum mereka; karena hal tersebut akan lebih menjadikan mereka mudah menerima al-haq serta bisa lebih menghindarkan beliau shallallahu’alaihiwasallam dan keluarga beliau dari gangguan mereka. (Lihat: Tafsir ath-Thabari: XIX/127, Tafsir Ibn Katsir: VI/439, Tafsir al-Qurthubi: (XVII/174), Tafsir al-Baghawi: (VI/361), dan Tafsir as-Sa’di: hal. 615).
- Ta’lif beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap ‘Uyainah bin Hishn dan al-Aqra’ bin Habis. (HR. Muslim: II/741 no. 1064).
- Ta’lif beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap ‘nenek moyang’ Khawarij: Abdullah bin Dzi al-Khuwaishirah. (HR. Bukhari: no. 6933 dan Muslim: II/744 no. 1064).
Adapun contoh dari penerapan Nabi shallallahu’alaihiwasallam metode hajr adalah sebagai berikut:
- Hajr beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap Ka’ab bin Malik dan dua orang temannya selama lima puluh hari; akibat mereka tidak berangkat jihad ke medan perang Tabuk tanpa alasan yang dibenarkan syari’at. (HR. Bukhari: no. 4418 dan Muslim: IV/2120 no. 2769. Abu Dawud dalam Sunannya: V/9 mengambil kesimpulan dari hadits ini: “Bab (disyari’atkannya) menjauhi dan membenci ahlul ahwa”.
- Hajr beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu akibat dia memakai minyak wangi za’faran karena itu adalah minyak wangi khusus wanita. (HR. Abu Dawud: V/9 no. 4601. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: III/117 no. 4601. Abu Dawud mengambil kesimpulan dari hadits ini: “Bab (disyari’atkannya) meninggalkan salam kepada ahlul ahwa”.
- Hajr beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap seorang laki-laki karena ia memakai cincin dari emas. (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad: II/568 no.1021 dan Ahmad: II/163. Syaikh al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Adab az-Zafaf hal. 217. Imam Bukhari mengambil kesimpulan dari hadits ini: “Bab (disyari’atkannya) meninggalkan salam terhadap orang yang memakai minyak wangi khaluq dan para pelaku maksiat”.
- Hajr beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap seorang laki-laki yang memakai minyak wangi khaluq, dan ini adalah minyak wangi khusus wanita. (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad: II/568 no.1020. Syaikh al-Albani mengklasifikasikan hadits ini dalam Shahih al-Adab al-Mufrad hal. 389. Imam Bukhari mengambil kesimpulan dari hadits ini: “Bab (disyari’atkannya) meninggalkan salam terhadap orang yang memakai minyak wangi khaluq dan para pelaku maksiat”).
Setelah kita mengetahui bahwa dua metode ini sama-sama dibenarkan syari’at; karena kedua-duanya pernah diterapkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, mungkin akan timbul pertanyaan dari sebagian kita: apa maksud dari atsar-atsar ulama salaf yang menerangkan telah terjadinya ijma’ atas penghajran ahlul bid’ah?
Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, alangkah baiknya kita sebutkan terlebih dahulu sebagian dari ulama Ahlus Sunnah -beserta tahun wafat mereka- yang menukil ijma’ atas penghajran ahlul bid’ah tersebut; agar sebagian orang yang 'memandang sinis' sunnah tersebut bisa dengan legowo menerimanya:
- Imam Abdurrahman al-Auza’i rahimahullah (w. 157 H). (Lihat: Tarikh Madinah Dimasyq karya Ibn ‘Asakir: VI/362).
- Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H). (Lihat: Masa’il al-Imam Ahmad karya putranya Shalih: II/166-167 dan al-Ibanah, al-Juz’ ats-tsalits, karya Ibn Bathah: II/472).
- Imam Abu Manshur Ma’mar bin Ahmad rahimahullah (w. 418 H). (Lihat: al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah karya Abu al-Qasim al-Ashbahani: I/258-259).
- Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni rahimahullah (w. 449 H). (Lihat kitab beliau: 'Aqidah as-Salaf Ashab al-Hadits: hal. 112).
- Imam Abu Ya’la al-Hanbali rahimahullah (w. 458 H). (Lihat kitab beliau: Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar: hal. 190).
- Imam Al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi asy-Syafi’i rahimahullah (w. 516 H). (Lihat kitab beliau: Syarh as-Sunnah: I/227).
- Imam Abu al-‘Abbas al-Qurthubi al-Maliki rahimahullah (w. 656 H). (Lihat kitab beliau: al-Mufhim lima Asykala min Talkhish Kitab Muslim: VI/534).
- Imam Abu Ishaq asy-Syathibi al-Maliki rahimahullah (w. 790 H). (Lihat kitab beliau: al-I’tisham: I/188).
- Syaikh Muhammad bin Abdul Lathif Alu Syaikh rahimahullah (w. 1367 H). (Lihat: ad-Durar as-Saniyyah: VIII/443). Untuk mengetahui atsar-atsar ulama salaf lain yang menghasung untuk menghajr ahlul bid’ah, silahkan merujuk kitab Ijma’ al-‘Ulama’ ‘ala al-Hajr wa at-Tahdzir min Ahl al-Ahwa’, karya Syaikh Khalid bin Dhahawi azh-Zhufairi hafizhahullah: hal. 89-153.
Setelah kita yakin benar bahwa memang telah terjadi ijma’ atas penghajran ahlul bid’ah, sekarang saatnya kita menjawab apa maksud dari ijma’ tesebut di atas? Maksudnya adalah: para ulama salaf telah berijma’ akan disyari’atkannya hajr ahlul bid’ah. Artinya: hajr ahlul bid’ah dibenarkan di dalam agama Islam, karena hal tersebut berlandaskan dalil-dalil yang shahih. (Demikian keterangan dari Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah pada tanggal 11/1/1428 H ba’da Shubuh, ketika kami tanyakan permasalahan ini kepada beliau).
Dan atsar-atsar tersebut di atas tidak mungkin ditafsirkan dengan ijma’ bahwa seluruh person ahlul bid’ah tanpa terkecuali harus dihajr. Ketidakmungkinan itu karena dua sebab:
1. Kalau ditafsirkan demikian maka akan ‘bertabrakan’ dengan hadits-hadits shahih yang jelas-jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun pernah menta’lif orang-orang yang memiliki penyimpangan-penyimpangan yang tidak ringan. Dan ijma’ tidak mungkin ‘bertabrakan’ dengan dalil.
2. Para salafus shalih dan ulama Ahlus Sunnah tidak memahami dari atsar-atsar tersebut kewajiban untuk menghajr seluruh person ahlul bid’ah tanpa terkecuali; buktinya mereka pun -termasuk yang menukil ijma’ tersebut- terkadang menta’lif ahlul bid’ah atau memerintahkan dan mengizinkan orang lain untuk menta’lif ahlul bid’ah atau membedakan antara ahlul bid’ah yang berhak dihajr dengan ahlul bid’ah yang tidak berhak dihajr. Di bawah ini praktek nyata dari penjelasan di atas:
- Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma (w. 68 H) pernah menta’lif ahlul bid’ah dari kalangan pengikut sekte Khawarij. Ceritanya: setelah beliau meminta izin kepada khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, beliau pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian dengan pakaian paling indah yang ia miliki dan menyisir rambutnya, lalu beliau menuju ke ke rumah orang-orang Khawarij. Sesampainya di sana beliau mengucapkan salam lalu mengajak mereka untuk berdiskusi dengan kata-kata yang lemah lembut. Hingga akhirnya duapuluh ribu di antara mereka sadar dan kembali kepada al-haq, sedangkan empat ribu di antara mereka tetap di dalam keyakinan yang sesat. (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf: X/157-160 no.18678 dan yang lain. Al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawa’id: VI/241 berkata: “Atsar ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan sebagian oleh Ahmad, sedangkan para perawinya tsiqah”. Al-Hakim di dalam al-Mustadrak: II/150-152 berkata, “Shahih menurut syarat Muslim”, dan adz-Dzahabi menyepakatinya).
- Imam Abdurrahman al-Auza’i rahimahullah (w. 157 H) membedakan antara ahlul bid’ah yang yang terang-terangan memamerkan bid’ahnya, dengan ahlul bid’ah yang sembunyi-sembunyi dalam melakukan bid’ahnya. Menurut beliau ahlul bid’ah model pertama berhak untuk disikapi dengan keras, sedang model kedua tidak seyogyanya untuk disikapi demikian. (Lihat: Kitab al-Bida’, karya Imam Ibn Wadhah: hal. 7 dan dengarkan syarh atsar ini di kaset ad-Din ash-Shafi - Ta’liq Mukhtashar ‘ala Kitab al-Bida’ li Ibn Wadhah, oleh Syaikh Abdurrahman al-Hajji: no 1 side A).
- Imam Abdul Aziz bin Yahya al-Kinani asy-Syafi’i rahimahullah (w. 240 H) ketika beliau menta’lif gembong sekte Jahmiyah: Bisyr al-Mirrisi, ketika beliau mengajaknya berdiskusi di depan khalifah al-Ma’mun di istana kerajaannya. (Lihat kitab beliau: al-Haidah wa al-I’tidzar fi ar-Rad ‘ala Man Qala bi Khalq al-Qur’an, hal. 21-dst).
- Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H) ketika beliau membolehkan untuk menjawab salam orang sekte Murji’ah. (Lihat: Masa’il al-Imam Ahmad, oleh Abu Dawud (hal. 276). Juga ketika beliau menerima kedatangan Abdurrahman bin Shalih al-Azdi seorang pengikut sekte Rafidhah ke rumahnya, lalu menyambutnya dengan ramah dan mengajak untuk berdiskusi. (Lihat: Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibn Hajar: II/517). Juga ketika beliau mengajak Abu ‘Imran Musa bin Hizam at-Tirmidzi seorang pengikut sekte Murji’ah untuk berdiskusi, hingga dia kembali kepada al-haq dan hingga akhir wafatnya terus membela madzhab Ahlus Sunnah. (Lihat: Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibn Hajar: IV/173 dan ats-Tsiqat, karya Ibn Hibban: IX/163). Padahal beliau adalah salah satu ulama yang menukil ijma’ atas penghajran ahlul bid’ah.
- Imam Ibn Abdil Bar al-Maliki rahimahullah (w. 463 H) ketika beliau menjelaskan bahwa hajr itu tidak mutlak diterapkan kepada semua ahlul bid’ah, akan tetapi hanya diterapkan kepada orang-orang yang diharapkan akan jera akibat hajr tersebut atau jika kita merasa khawatir terpengaruh dengan bid’ahnya. (Lihat: at-Tamhid: VI/119).
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728) yang dengan gamblang menjelaskan bahwa kita memiliki dua metode dalam menyikapi ahlul bid’ah: metode ta’lif dan metode hajr. (Lihat: Majmu’ al-Fatawa: XXVIII/206 dan Minhaj as-Sunnah: I/63-65). Dan penerapan beliau metode ta’lif dengan melayani ahlul bid’ah di zamannya untuk berdiskusi seputar kitab beliau al-‘Aqidah al-Wasithiyah di depan Sultan al-Afram. (Lihat: Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra: I/413-421 dan al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Imam Ibn Katsir: XVIII/53). Juga ketika beliau mengajak diskusi para gembong tarekat Rifa’iyah di desa al-Bathaih Irak. (Lihat: Majmu’ah ar-Rasa’il wa al-Masa’il: I/128-146).
________________________________________________________________________________________________________________
Rasulullah bersabda,
(تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ).
"Senyum kamu terhadap saudaramu merupakan shadaqah (yang pahalanya akan mengalir) untukmu" .
Jarir bin Abdullah bercerita,
(ما حجبني النبي منذ أسلمت, ولا رآني إلا تبسم في وجهي).
"Semenjak aku masuk Islam, Rasulullah tidak pernah menghalangiku untuk masuk rumahnya, dan beliau selalu tersenyum padaku setiap melihatku" .
Sebagian orang mengira bahwa kalau dia sudah 'ngaji' berarti dia harus selalu memasang tampang sangar kepada semua orang yang belum 'ngaji', serta tidak mengucapkan salam pada mereka. Ini jelas merupakan pemahaman yang tidak tepat; karena setiap orang yang beragama Islam meskipun dia memiliki penyimpangan-penyimpangan syari'at -jika tidak disyariatkan untuk dihajr- maka dia tetap memiliki hak-hak seorang muslim yang harus kita tunaikan .
عن أبي هريرة: أن رسول الله قال: (حق المسلم على المسلم ست) قيل ما هن يا رسول الله؟ قال: (إذا لقيته فسلم عليه, وإذا دعاك فأجبه, وإذا استنصحك فانصح له, وإذا عطس فحمد الله فسمته, وإذا مرض فعده, وإذا مات فاتبعه).
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda, "Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam". Lantas ada yang bertanya, "Apakah yang enam itu wahai Rasulullah?". Beliau menjawab: "(1) Jika engkau bertemu dengannya ucapkanlah salam padanya, (2) Jika dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, (3) Jika dia meminta nasehat padamu maka nasehatilah ia, (4) Jika dia bersin lalu mengucapkan "alhamdulillah" maka balaslah dengan mengucapkan "yarhamukallah", (5) Jika dia sakit maka jenguklah, dan (6) Jika dia meninggal maka antarkanlah jenazahnya" .
Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah dalam Tuhfah al-Mujib (hal. 355) menjelaskan bolehnya mengucapkan salam terhadap hizbiyyin ketika berpapasan dengan mereka, “Adapun saudara-saudara kami di ‘Adn (salah satu kota di negeri Yaman) maka aku nasehatkan kepada mereka agar tidak menghadiri ceramah-ceramah dan pertemuan-pertemuan hizbiyyun, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam “Nashihati li Ahl as-Sunnah”. Dan aku menginginkan para saudara kami fillah untuk menyikapi mereka (hizbiyyun) sebagaimana mereka menyikapi kaum muslimin: assalamu’alaikum ... wa’alaikumsalam (maksudnya saling mengucapkan dan menjawab salam)”.
________________________________________________________________________________________________________________
- Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (w. 1420 H) ketika beliau menjelaskan bahwa dalam pemilihan metode menyikapi ahlul bid’ah, kita melihat mana yang lebih cocok untuk mereka; jika yang lebih cocok adalah ta’lif maka kita memilih metode itu, jika tidak maka kita memilih metode hajr. Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah (IX/423-424).
- Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah (w. 1420 H) yang mewasiatkan kepada para salafiyyin agar mereka mendakwahi musuh-musuh dakwah salafiyah dengan penuh hikmah. (Lihat kitab Muhaddits al-‘Ashr Muhammad Nashiruddin al-Albani, karya Samir bin Amin az-Zuhairy, hal. 74-75). Juga ketika beliau dengan penuh kesabaran melayani orang-orang takfiriyyin (kelompok yang mudah mengkafirkan kaum muslimin seperti Sururiyah dan Quthbiyyah) untuk berdiskusi selama berhari-hari. Terkadang beliau menjadi makmum di belakang mereka, bahkan terkadang beliau mengalah untuk mengunjungi rumah mereka. (Lihat: Maqalat al-Albani, oleh Nuruddin Thalib: hal 214-215 dan It-haf an-Nufus al-Muthmainnah, karya Ahmad Abu al-‘Ainain: hal. 11-13).
- Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (w. 1421 H) ketika menjelaskan bahwa hajr atau ta’lif ahlul bid’ah kembalinya adalah kepada pertimbangan maslahat dan madharat. (Lihat: al-Majmu’ ats-Tsamin: I/31 dan Syarh Lum’ah al-I’tiqad: hal. 159). Juga ketika beliau menghasung kaum muslimin yang hidup berdampingan dengan orang-orang Rafidhah agar berusaha untuk menasehati mereka dan menerangkan al-haq. (Lihat: Liqa’ al-Bab al-Maftuh: I/25 pertanyaan no. 34). Beliau juga melarang kita untuk mengusir orang-orang Rafidhah jika shalat di masjid Ahlus Sunnah sambil kita terus berusaha untuk menasehati mereka. (Lihat: Liqa’ al-Bab al-Maftuh: I/192 pertanyaan no. 313). Beliau juga menasehati agar kita melihat siapa di antara pengikut sekte Rafidhah yang diprediksikan akan menerima al-haq, lalu kita undang dia ke rumah kita, kemudian dinasehati dengan penuh hikmah. (Lihat: Liqa’ al-Bab al-Maftuh: I/231 pertanyaan no. 363). Beliau juga memberikan wejangan kepada para guru yang hidup di negeri yang di dalamnya Ahlus Sunnah berbaur dengan ahlul bid’ah, hendaknya mereka berusaha sekuat tenaga menta’lif murid-murid yang berasal dari keluarga ahlul bid’ah dan mengajak mereka kepada al-haq. (Lihat: Liqa’ al-Bab al-Maftuh: II/21-23 pertanyaan no. 774). Bahkan beliau sendiri berusaha untuk mempraktekkan apa yang beliau nasehatkan kepada umat, dengan menta’lif tokoh-tokoh pengusung pemikiran Sururiyah selama bertahun-tahun. (Lihat: Khurafat Haraki, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 44).
- Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi'i rahimahullah ketika mengharapkan agar ada sebagian ikhwah yang menta'lif Dr. Safar al-Hawali dengan harapan supaya dia rujuk kepada al-haq. Lihat:Tuhfah al-Mujib hal 277.
- Syaikh al-‘Allamah Ahmad bin Yahya an-Najmi hafidzahullah ketika kami tanya pada hari Jum’at tanggal 26/12/1426 H -via no hp Syaikh Abdullah an-Najmi- tentang masalah hajr, syaikh Ahmad an-Najmi menjawab, “Penerapan metode hajr tergantung maslahat; seandainya ada maslahatnya maka kita menerapkan metode hajr, namun jika tidak ada maslahatnya maka kita tidak menerapkannya”.
HR. Tirmidzi (hal. 328 no. 1956 -cet. Bait al-Afkar) dan beliau berkata, "hadits ini hasan gharib". Ibnu Hibban menshahihkannya dalam Shahihnya (II/286-287 no. 529). Hadits ini juga dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (II/117 no. 572).
HR. Bukhari (hal. 781 no. 3822) dan Muslim (IV/1704 no. 2162 -asy-syamilah), Teks hadits yang kami bawakan di sini merupakan teks riwayat Muslim.
Lihat: Mauqif Ahlis Sunnah karya Syaikh Ibrahim ar-Ruhaily (II/524-525).
HR. Bukhari (hal. 244 no. 1240) dan Muslim (IV/1704 no. 2162 -asy-syamilah).
Semisal orang-orang Ikhwanul Muslimin dan yang serupa.
Keterangan serupa disampaikan oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah dalam kitabnya al-Hats ‘ala al-Mawaddah (hal. 45), “Barang siapa yang bisa berargumentasi dengan baik, memiliki kepribadian yang kuat dan memiliki ilmu hendaklah ia menyampaikan argumentasi dan menyeru mereka (ahlul bid’ah semisal ikhwanul muslimin dan para pengusung pemikiran takfiri –pen (Sebagaimana yang termaktub dalam pertanyaan atas jawaban ini di hal. 43 dari kitab al-Hats ‘ala al-Mawaddah.)) dengan hikmah dan nasehat yang baik. Niscaya kalian akan melihat dampak yang baik. Namun bagi mereka yang lemah maka demi Allah tidak sepantasnya berbaur dengan mereka, namun kalau mendapat ucapan salam tidak mengapa untuk membalasnya, kalau tidak, apa yang bisa dia lakukan? Yang jelas tidak diperkenankan baginya untuk bermajelis dan berbaur dengan mereka”.
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah menjelaskan bagaimana seharusnya kita bergaul dengan sesama muslim, “Tidak berarti engkau harus berteman atau bermajelis dengan semua manusia. Karena sebagian orang tidak baik untuk kita jadikan teman duduk dan terkadang tabiat seseorang tidak cocok untuk bermajelis dengan sebagian yang lain (yang memiliki tabiat yang berbeda). Akan tetapi seharusnya dia tetap mengucapkan salam kepada mereka, bermuka manis ketika bertemu, menunaikan haknya, mengunjunginya ketika sakit, berziarah ketika ada kebutuhan serta menunaikan hak-haknya, ini semua tidak mengharuskannya untuk menjadikan dia sebagai teman (dekat). Sebagian penuntut ilmu mengira bahwa duduk di setiap majelis dan berbaur dengan semua orang merupakan salah satu wujud persatuan, hal ini keliru. Yang benar adalah dia berusaha mencintai kaum muslimin secara global, lalu memilih di antara mereka yang baik untuk dijadikan teman duduk dan yang membantunya untuk berbuat baik, meskipun demikian dia tidak memutus hubungan dengan kaum muslimin yang lain. Jadi makna persatuan adalah: menunaikan hak-hak kaum muslimin; mengucapkan salam ketika bertemu, bertakziyah ketika ada yang meninggal, mengunjungi orang yang sakit, mencintai kebaikan atas saudaranya, saling menasehati jika ada kekeliruan, membantu ketika ada yang membutuhkan bantuan, inilah hak-hak persaudaraan, dan inilah makna persatuan” (Al-Hats ‘ala al-I’tisham (hal. 3).).
Dan perlu diketahui bahwa bermuka manis serta berlemah lembut kepada ahlul bid’ah dengan tujuan ta’lif sama sekali bukan termasuk mudahanah, akan tetapi ini termasuk mudaaraah yang diperbolehkan, bahkan terkadang disyariatkan dalam Islam.
Nabi pun shallallahu’alaihiwasallam pernah bermudaaraah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
عن عروة بن الزبير أن عائشة أخبرته أنه استذن على النبي صلى الله عليه وسلم رجل فقال: (ائذنوا له, بئس ابن العشيرة أو بئس أخو العشيرة), فلما دخل ألان له الكلام, فقلت له: (يا رسول الله قلت ما قلت ثم ألنت له في القول؟) فقال: (أي عائشة, إن شر الناس منـزلة عند الله من تركه أو ودعه الناس اتقاء فحشه).
“Dari ‘Urwah bin Zubair, Aisyah mengabarkan padanya bahwa ada seorang pria minta izin untuk menemui Nabi , maka Nabi berkata, “Izinkanlah ia, sesungguhnya ia adalah sejelek-jelek pria di kaumnya” atau beliau berkata, “Ia adalah sejelek-jelek orang di kaumnya” Kemudian tatkala orang itu masuk (menemui Nabi ) maka Nabi pun berbicara kepadanya dengan lemah lembut. Aku (Aisyah) pun berkata kepada beliau , “Ya Rasulullah, bukankah engkau telah mengatakan apa yang kau katakan, mengapa kemudian engkau berbicara kepadanya dengan lemah lembut?” Rasulullah menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan atau dijauhi masyarakat untuk menghindari kejahatannya” (HR. Bukhari (bab al-Mudaaraah ma’an naas, no: 6032) dan Muslim (IV/2002 no. 2591)).
Adapun perbedaan antara Mudaarah dengan Mudahanah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah dan Ibnu Baththal rahimahullah: Mudaaraah adalah mengorbankan dunia untuk kemaslahatan yang berkaitan dengan dunia, agama atau keduanya; seperti bersikap rendah hati di hadapan manusia, berbicara dengan lemah lembut dan meninggalkan sikap keras kepada masyarakat. Adapun mudahanah adalah mengorbankan agama demi kemaslahatan dunia; seperti bergaul dengan orang fasik dengan menampakkan keridhaan terhadap kefasikannya tanpa adanya pengingkaran (Lihat: Fath al-Bari (X/558, 648-649).).
Metode ta’lif adalah: pendekatan terhadap orang yang bersalah, dengan bermuka manis, berziarah, menjawab salam, menasehati dengan lemah lembut dan sikap-sikap simpatik lainnya yang mendekatkan orang yang bersalah terhadap diri orang yang akan menasehati, sehingga dia menerima nasehat yang disampaikan. (Lihat: al-‘Awashim wa al-Qawashim karya Imam Ibn al-Wazir rahimahullah: I/228).
Metode hajr adalah: Memutus hubungan dengan orang yang bersalah; tidak salam, tidak senyum, tidak menziarahinya dan sikap-sikap keras lainnya yang diharapkan bisa memberikan pelajaran terhadap orang yang bersalah, sehingga dia kembali kepada al-haq. (Lihat: Syarh Lum’ah al-I’tiqad karya Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah hal. 159).
Para ulama telah menjelaskan bahwa dua metode ini sama-sama disyari’atkan di dalam agama Islam dan pernah diterapkan kedua-duanya oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fatawa (XXVIII/206) menjelaskan, “Penerapan metode ta’lif terhadap sebagian orang terkadang lebih bermanfaat baginya daripada metode hajr, begitupula penerapan metode hajr bagi sebagian yang lain terkadang lebih bermanfaat baginya daripada metode ta’lif. Oleh karena itu Nabi shallallahu’alaihiwasallam menerapkan metode ta’lif kepada sebagian orang dan menerapkan metode hajr kepada sebagian yang lain”. (Lihat perkataan yang serupa dalam kitab Minhaj as-Sunnah: I/63-65).
Imam Ibn al-Wazir rahimahullah dalam kitabnya al-‘Awashim wa al-Qawashim (I/228-229) memberikan keterangan serupa, “Metode keempat (di antara metode-metode dakwah) adalah: nasehat. Dan nasehat ini ada dua modelnya: (1) ta’lif dan hasungan. (2) menakut-nakuti dan tarhib (ancaman). Masing-masing dari dua model ini memiliki tempat yang cocok dan kondisi yang tepat baginya; oleh sebab itu (kita dapatkan) ayat-ayat al-Qur’an bervariasi (ada yang memerintahkan ta’lif dan ada yang memerintahkan tarhib)”.
Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanya kapankah kita menghajr ahlul bid’ah, beliau menjelaskan dengan panjang lebar dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah (IX/423-424), lalu memberikan kesimpulan, “Kesimpulannya: Sesungguhnya (pendapat) yang kuat dan yang lebih utama adalah mempertimbangkan maslahat syar’iyyah dalam hal ini (hajr atau ta’lif); karena Nabi shallallahu’alaihiwasallam menghajr sebagian orang dan tidak menghajr sebagian yang yang lain, karena beliau mempertimbangkan maslahat syar’iyyah islamiyyah (dalam hal ini)”.
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafizhahullah dalam Nashihah li asy-Syabab (hal. 3) menerangkan, “Seorang da’i ketika mendakwahi umat, dia memiliki dua metode syar’i yang keduanya berlandaskan dalil: metode ta’lif dan targhib (hasungan), serta metode hajr dan tarhib (ancaman). Merupakan bentuk kekeliruan bila ada orang yang berusaha untuk menerapkan salah satu dari dua metode ini kepada seluruh manusia. Yang benar dalam menyikapi orang yang keliru adalah seorang da’i berusaha untuk menerapkan metode yang lebih bisa menarik dia untuk menerima al-haq dan kembali kepadanya. Jika metode ta’lif lebih bermanfaat bagi orang yang bersalah dan lebih diharapkan bisa untuk memperbaikinya maka metode itu yang disyariatkan untuk diterapkan padanya. Sebaliknya jika metode hajr lebih bermanfaat baginya, maka metode itulah yang disyariatkan untuk diterapkan padanya. Jadi barang siapa yang menerapkan metode ta’lif terhadap orang yang seharusnya dihajr berarti dia termasuk golongan yang menyepelekan (kesalahan), kebalikannya barang siapa yang menerapkan metode hajr terhadap orang yang seharusnya dita’lif, berarti dia termasuk golongan yang bersikap keras berlebihan”.
Berikut contoh penerapan masing-masing dari metode ini oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam:
Contoh dari penerapan Nabi shallallahu’alaihiwasallam metode ta’lif:
- Sabda beliau shallallahu’alaihiwasallam,
(إني لأعطي الرجل وغيره أحب إلي منه؛ خشية أن يكبه الله في النار).
“Sesungguhnya terkadang aku memberi seseorang (suatu hadiah) padahal orang yang lain lebih aku cintai; karena aku takut Allah akan memasukkannya ke dalam neraka”. (HR. Bukhari: no. 27 dan Muslim: I/132 no. 150). Lihat hadits yang semakna dalam Shahih Bukhari (no. 923 dan no. 7535).
- Ta’lif beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap dedengkot kaum munafiqin: Abdullah bin Ubay bin Salul. (HR. Bukhari: no. 3518 dan Muslim: IV/1998 no. 2584).
- Ta’lif beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap kaum munafiqin secara umum berdasarkan perintah Allah ta’ala dalam QS. Al-Ahzab: 48 (yang artinya), “Janganlah kamu hiraukan gangguan mereka”. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah Allah memerintahkan nabi shallallahu’alaihiwasallam agar bersabar, memaafkan kesalahan mereka dan tidak menghukum mereka; karena hal tersebut akan lebih menjadikan mereka mudah menerima al-haq serta bisa lebih menghindarkan beliau shallallahu’alaihiwasallam dan keluarga beliau dari gangguan mereka. (Lihat: Tafsir ath-Thabari: XIX/127, Tafsir Ibn Katsir: VI/439, Tafsir al-Qurthubi: (XVII/174), Tafsir al-Baghawi: (VI/361), dan Tafsir as-Sa’di: hal. 615).
- Ta’lif beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap ‘Uyainah bin Hishn dan al-Aqra’ bin Habis. (HR. Muslim: II/741 no. 1064).
- Ta’lif beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap ‘nenek moyang’ Khawarij: Abdullah bin Dzi al-Khuwaishirah. (HR. Bukhari: no. 6933 dan Muslim: II/744 no. 1064).
Adapun contoh dari penerapan Nabi shallallahu’alaihiwasallam metode hajr adalah sebagai berikut:
- Hajr beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap Ka’ab bin Malik dan dua orang temannya selama lima puluh hari; akibat mereka tidak berangkat jihad ke medan perang Tabuk tanpa alasan yang dibenarkan syari’at. (HR. Bukhari: no. 4418 dan Muslim: IV/2120 no. 2769. Abu Dawud dalam Sunannya: V/9 mengambil kesimpulan dari hadits ini: “Bab (disyari’atkannya) menjauhi dan membenci ahlul ahwa”.
- Hajr beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu akibat dia memakai minyak wangi za’faran karena itu adalah minyak wangi khusus wanita. (HR. Abu Dawud: V/9 no. 4601. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: III/117 no. 4601. Abu Dawud mengambil kesimpulan dari hadits ini: “Bab (disyari’atkannya) meninggalkan salam kepada ahlul ahwa”.
- Hajr beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap seorang laki-laki karena ia memakai cincin dari emas. (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad: II/568 no.1021 dan Ahmad: II/163. Syaikh al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Adab az-Zafaf hal. 217. Imam Bukhari mengambil kesimpulan dari hadits ini: “Bab (disyari’atkannya) meninggalkan salam terhadap orang yang memakai minyak wangi khaluq dan para pelaku maksiat”.
- Hajr beliau shallallahu’alaihiwasallam terhadap seorang laki-laki yang memakai minyak wangi khaluq, dan ini adalah minyak wangi khusus wanita. (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad: II/568 no.1020. Syaikh al-Albani mengklasifikasikan hadits ini dalam Shahih al-Adab al-Mufrad hal. 389. Imam Bukhari mengambil kesimpulan dari hadits ini: “Bab (disyari’atkannya) meninggalkan salam terhadap orang yang memakai minyak wangi khaluq dan para pelaku maksiat”).
Setelah kita mengetahui bahwa dua metode ini sama-sama dibenarkan syari’at; karena kedua-duanya pernah diterapkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, mungkin akan timbul pertanyaan dari sebagian kita: apa maksud dari atsar-atsar ulama salaf yang menerangkan telah terjadinya ijma’ atas penghajran ahlul bid’ah?
Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, alangkah baiknya kita sebutkan terlebih dahulu sebagian dari ulama Ahlus Sunnah -beserta tahun wafat mereka- yang menukil ijma’ atas penghajran ahlul bid’ah tersebut; agar sebagian orang yang 'memandang sinis' sunnah tersebut bisa dengan legowo menerimanya:
- Imam Abdurrahman al-Auza’i rahimahullah (w. 157 H). (Lihat: Tarikh Madinah Dimasyq karya Ibn ‘Asakir: VI/362).
- Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H). (Lihat: Masa’il al-Imam Ahmad karya putranya Shalih: II/166-167 dan al-Ibanah, al-Juz’ ats-tsalits, karya Ibn Bathah: II/472).
- Imam Abu Manshur Ma’mar bin Ahmad rahimahullah (w. 418 H). (Lihat: al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah karya Abu al-Qasim al-Ashbahani: I/258-259).
- Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni rahimahullah (w. 449 H). (Lihat kitab beliau: 'Aqidah as-Salaf Ashab al-Hadits: hal. 112).
- Imam Abu Ya’la al-Hanbali rahimahullah (w. 458 H). (Lihat kitab beliau: Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar: hal. 190).
- Imam Al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi asy-Syafi’i rahimahullah (w. 516 H). (Lihat kitab beliau: Syarh as-Sunnah: I/227).
- Imam Abu al-‘Abbas al-Qurthubi al-Maliki rahimahullah (w. 656 H). (Lihat kitab beliau: al-Mufhim lima Asykala min Talkhish Kitab Muslim: VI/534).
- Imam Abu Ishaq asy-Syathibi al-Maliki rahimahullah (w. 790 H). (Lihat kitab beliau: al-I’tisham: I/188).
- Syaikh Muhammad bin Abdul Lathif Alu Syaikh rahimahullah (w. 1367 H). (Lihat: ad-Durar as-Saniyyah: VIII/443). Untuk mengetahui atsar-atsar ulama salaf lain yang menghasung untuk menghajr ahlul bid’ah, silahkan merujuk kitab Ijma’ al-‘Ulama’ ‘ala al-Hajr wa at-Tahdzir min Ahl al-Ahwa’, karya Syaikh Khalid bin Dhahawi azh-Zhufairi hafizhahullah: hal. 89-153.
Setelah kita yakin benar bahwa memang telah terjadi ijma’ atas penghajran ahlul bid’ah, sekarang saatnya kita menjawab apa maksud dari ijma’ tesebut di atas? Maksudnya adalah: para ulama salaf telah berijma’ akan disyari’atkannya hajr ahlul bid’ah. Artinya: hajr ahlul bid’ah dibenarkan di dalam agama Islam, karena hal tersebut berlandaskan dalil-dalil yang shahih. (Demikian keterangan dari Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah pada tanggal 11/1/1428 H ba’da Shubuh, ketika kami tanyakan permasalahan ini kepada beliau).
Dan atsar-atsar tersebut di atas tidak mungkin ditafsirkan dengan ijma’ bahwa seluruh person ahlul bid’ah tanpa terkecuali harus dihajr. Ketidakmungkinan itu karena dua sebab:
1. Kalau ditafsirkan demikian maka akan ‘bertabrakan’ dengan hadits-hadits shahih yang jelas-jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun pernah menta’lif orang-orang yang memiliki penyimpangan-penyimpangan yang tidak ringan. Dan ijma’ tidak mungkin ‘bertabrakan’ dengan dalil.
2. Para salafus shalih dan ulama Ahlus Sunnah tidak memahami dari atsar-atsar tersebut kewajiban untuk menghajr seluruh person ahlul bid’ah tanpa terkecuali; buktinya mereka pun -termasuk yang menukil ijma’ tersebut- terkadang menta’lif ahlul bid’ah atau memerintahkan dan mengizinkan orang lain untuk menta’lif ahlul bid’ah atau membedakan antara ahlul bid’ah yang berhak dihajr dengan ahlul bid’ah yang tidak berhak dihajr. Di bawah ini praktek nyata dari penjelasan di atas:
- Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma (w. 68 H) pernah menta’lif ahlul bid’ah dari kalangan pengikut sekte Khawarij. Ceritanya: setelah beliau meminta izin kepada khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, beliau pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian dengan pakaian paling indah yang ia miliki dan menyisir rambutnya, lalu beliau menuju ke ke rumah orang-orang Khawarij. Sesampainya di sana beliau mengucapkan salam lalu mengajak mereka untuk berdiskusi dengan kata-kata yang lemah lembut. Hingga akhirnya duapuluh ribu di antara mereka sadar dan kembali kepada al-haq, sedangkan empat ribu di antara mereka tetap di dalam keyakinan yang sesat. (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf: X/157-160 no.18678 dan yang lain. Al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawa’id: VI/241 berkata: “Atsar ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan sebagian oleh Ahmad, sedangkan para perawinya tsiqah”. Al-Hakim di dalam al-Mustadrak: II/150-152 berkata, “Shahih menurut syarat Muslim”, dan adz-Dzahabi menyepakatinya).
- Imam Abdurrahman al-Auza’i rahimahullah (w. 157 H) membedakan antara ahlul bid’ah yang yang terang-terangan memamerkan bid’ahnya, dengan ahlul bid’ah yang sembunyi-sembunyi dalam melakukan bid’ahnya. Menurut beliau ahlul bid’ah model pertama berhak untuk disikapi dengan keras, sedang model kedua tidak seyogyanya untuk disikapi demikian. (Lihat: Kitab al-Bida’, karya Imam Ibn Wadhah: hal. 7 dan dengarkan syarh atsar ini di kaset ad-Din ash-Shafi - Ta’liq Mukhtashar ‘ala Kitab al-Bida’ li Ibn Wadhah, oleh Syaikh Abdurrahman al-Hajji: no 1 side A).
- Imam Abdul Aziz bin Yahya al-Kinani asy-Syafi’i rahimahullah (w. 240 H) ketika beliau menta’lif gembong sekte Jahmiyah: Bisyr al-Mirrisi, ketika beliau mengajaknya berdiskusi di depan khalifah al-Ma’mun di istana kerajaannya. (Lihat kitab beliau: al-Haidah wa al-I’tidzar fi ar-Rad ‘ala Man Qala bi Khalq al-Qur’an, hal. 21-dst).
- Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H) ketika beliau membolehkan untuk menjawab salam orang sekte Murji’ah. (Lihat: Masa’il al-Imam Ahmad, oleh Abu Dawud (hal. 276). Juga ketika beliau menerima kedatangan Abdurrahman bin Shalih al-Azdi seorang pengikut sekte Rafidhah ke rumahnya, lalu menyambutnya dengan ramah dan mengajak untuk berdiskusi. (Lihat: Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibn Hajar: II/517). Juga ketika beliau mengajak Abu ‘Imran Musa bin Hizam at-Tirmidzi seorang pengikut sekte Murji’ah untuk berdiskusi, hingga dia kembali kepada al-haq dan hingga akhir wafatnya terus membela madzhab Ahlus Sunnah. (Lihat: Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibn Hajar: IV/173 dan ats-Tsiqat, karya Ibn Hibban: IX/163). Padahal beliau adalah salah satu ulama yang menukil ijma’ atas penghajran ahlul bid’ah.
- Imam Ibn Abdil Bar al-Maliki rahimahullah (w. 463 H) ketika beliau menjelaskan bahwa hajr itu tidak mutlak diterapkan kepada semua ahlul bid’ah, akan tetapi hanya diterapkan kepada orang-orang yang diharapkan akan jera akibat hajr tersebut atau jika kita merasa khawatir terpengaruh dengan bid’ahnya. (Lihat: at-Tamhid: VI/119).
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728) yang dengan gamblang menjelaskan bahwa kita memiliki dua metode dalam menyikapi ahlul bid’ah: metode ta’lif dan metode hajr. (Lihat: Majmu’ al-Fatawa: XXVIII/206 dan Minhaj as-Sunnah: I/63-65). Dan penerapan beliau metode ta’lif dengan melayani ahlul bid’ah di zamannya untuk berdiskusi seputar kitab beliau al-‘Aqidah al-Wasithiyah di depan Sultan al-Afram. (Lihat: Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra: I/413-421 dan al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Imam Ibn Katsir: XVIII/53). Juga ketika beliau mengajak diskusi para gembong tarekat Rifa’iyah di desa al-Bathaih Irak. (Lihat: Majmu’ah ar-Rasa’il wa al-Masa’il: I/128-146).
________________________________________________________________________________________________________________
Rasulullah bersabda,
(تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ).
"Senyum kamu terhadap saudaramu merupakan shadaqah (yang pahalanya akan mengalir) untukmu" .
Jarir bin Abdullah bercerita,
(ما حجبني النبي منذ أسلمت, ولا رآني إلا تبسم في وجهي).
"Semenjak aku masuk Islam, Rasulullah tidak pernah menghalangiku untuk masuk rumahnya, dan beliau selalu tersenyum padaku setiap melihatku" .
Sebagian orang mengira bahwa kalau dia sudah 'ngaji' berarti dia harus selalu memasang tampang sangar kepada semua orang yang belum 'ngaji', serta tidak mengucapkan salam pada mereka. Ini jelas merupakan pemahaman yang tidak tepat; karena setiap orang yang beragama Islam meskipun dia memiliki penyimpangan-penyimpangan syari'at -jika tidak disyariatkan untuk dihajr- maka dia tetap memiliki hak-hak seorang muslim yang harus kita tunaikan .
عن أبي هريرة: أن رسول الله قال: (حق المسلم على المسلم ست) قيل ما هن يا رسول الله؟ قال: (إذا لقيته فسلم عليه, وإذا دعاك فأجبه, وإذا استنصحك فانصح له, وإذا عطس فحمد الله فسمته, وإذا مرض فعده, وإذا مات فاتبعه).
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda, "Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam". Lantas ada yang bertanya, "Apakah yang enam itu wahai Rasulullah?". Beliau menjawab: "(1) Jika engkau bertemu dengannya ucapkanlah salam padanya, (2) Jika dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, (3) Jika dia meminta nasehat padamu maka nasehatilah ia, (4) Jika dia bersin lalu mengucapkan "alhamdulillah" maka balaslah dengan mengucapkan "yarhamukallah", (5) Jika dia sakit maka jenguklah, dan (6) Jika dia meninggal maka antarkanlah jenazahnya" .
Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah dalam Tuhfah al-Mujib (hal. 355) menjelaskan bolehnya mengucapkan salam terhadap hizbiyyin ketika berpapasan dengan mereka, “Adapun saudara-saudara kami di ‘Adn (salah satu kota di negeri Yaman) maka aku nasehatkan kepada mereka agar tidak menghadiri ceramah-ceramah dan pertemuan-pertemuan hizbiyyun, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam “Nashihati li Ahl as-Sunnah”. Dan aku menginginkan para saudara kami fillah untuk menyikapi mereka (hizbiyyun) sebagaimana mereka menyikapi kaum muslimin: assalamu’alaikum ... wa’alaikumsalam (maksudnya saling mengucapkan dan menjawab salam)”.
________________________________________________________________________________________________________________
- Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (w. 1420 H) ketika beliau menjelaskan bahwa dalam pemilihan metode menyikapi ahlul bid’ah, kita melihat mana yang lebih cocok untuk mereka; jika yang lebih cocok adalah ta’lif maka kita memilih metode itu, jika tidak maka kita memilih metode hajr. Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah (IX/423-424).
- Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah (w. 1420 H) yang mewasiatkan kepada para salafiyyin agar mereka mendakwahi musuh-musuh dakwah salafiyah dengan penuh hikmah. (Lihat kitab Muhaddits al-‘Ashr Muhammad Nashiruddin al-Albani, karya Samir bin Amin az-Zuhairy, hal. 74-75). Juga ketika beliau dengan penuh kesabaran melayani orang-orang takfiriyyin (kelompok yang mudah mengkafirkan kaum muslimin seperti Sururiyah dan Quthbiyyah) untuk berdiskusi selama berhari-hari. Terkadang beliau menjadi makmum di belakang mereka, bahkan terkadang beliau mengalah untuk mengunjungi rumah mereka. (Lihat: Maqalat al-Albani, oleh Nuruddin Thalib: hal 214-215 dan It-haf an-Nufus al-Muthmainnah, karya Ahmad Abu al-‘Ainain: hal. 11-13).
- Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (w. 1421 H) ketika menjelaskan bahwa hajr atau ta’lif ahlul bid’ah kembalinya adalah kepada pertimbangan maslahat dan madharat. (Lihat: al-Majmu’ ats-Tsamin: I/31 dan Syarh Lum’ah al-I’tiqad: hal. 159). Juga ketika beliau menghasung kaum muslimin yang hidup berdampingan dengan orang-orang Rafidhah agar berusaha untuk menasehati mereka dan menerangkan al-haq. (Lihat: Liqa’ al-Bab al-Maftuh: I/25 pertanyaan no. 34). Beliau juga melarang kita untuk mengusir orang-orang Rafidhah jika shalat di masjid Ahlus Sunnah sambil kita terus berusaha untuk menasehati mereka. (Lihat: Liqa’ al-Bab al-Maftuh: I/192 pertanyaan no. 313). Beliau juga menasehati agar kita melihat siapa di antara pengikut sekte Rafidhah yang diprediksikan akan menerima al-haq, lalu kita undang dia ke rumah kita, kemudian dinasehati dengan penuh hikmah. (Lihat: Liqa’ al-Bab al-Maftuh: I/231 pertanyaan no. 363). Beliau juga memberikan wejangan kepada para guru yang hidup di negeri yang di dalamnya Ahlus Sunnah berbaur dengan ahlul bid’ah, hendaknya mereka berusaha sekuat tenaga menta’lif murid-murid yang berasal dari keluarga ahlul bid’ah dan mengajak mereka kepada al-haq. (Lihat: Liqa’ al-Bab al-Maftuh: II/21-23 pertanyaan no. 774). Bahkan beliau sendiri berusaha untuk mempraktekkan apa yang beliau nasehatkan kepada umat, dengan menta’lif tokoh-tokoh pengusung pemikiran Sururiyah selama bertahun-tahun. (Lihat: Khurafat Haraki, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 44).
- Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi'i rahimahullah ketika mengharapkan agar ada sebagian ikhwah yang menta'lif Dr. Safar al-Hawali dengan harapan supaya dia rujuk kepada al-haq. Lihat:Tuhfah al-Mujib hal 277.
- Syaikh al-‘Allamah Ahmad bin Yahya an-Najmi hafidzahullah ketika kami tanya pada hari Jum’at tanggal 26/12/1426 H -via no hp Syaikh Abdullah an-Najmi- tentang masalah hajr, syaikh Ahmad an-Najmi menjawab, “Penerapan metode hajr tergantung maslahat; seandainya ada maslahatnya maka kita menerapkan metode hajr, namun jika tidak ada maslahatnya maka kita tidak menerapkannya”.
HR. Tirmidzi (hal. 328 no. 1956 -cet. Bait al-Afkar) dan beliau berkata, "hadits ini hasan gharib". Ibnu Hibban menshahihkannya dalam Shahihnya (II/286-287 no. 529). Hadits ini juga dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (II/117 no. 572).
HR. Bukhari (hal. 781 no. 3822) dan Muslim (IV/1704 no. 2162 -asy-syamilah), Teks hadits yang kami bawakan di sini merupakan teks riwayat Muslim.
Lihat: Mauqif Ahlis Sunnah karya Syaikh Ibrahim ar-Ruhaily (II/524-525).
HR. Bukhari (hal. 244 no. 1240) dan Muslim (IV/1704 no. 2162 -asy-syamilah).
Semisal orang-orang Ikhwanul Muslimin dan yang serupa.
Keterangan serupa disampaikan oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah dalam kitabnya al-Hats ‘ala al-Mawaddah (hal. 45), “Barang siapa yang bisa berargumentasi dengan baik, memiliki kepribadian yang kuat dan memiliki ilmu hendaklah ia menyampaikan argumentasi dan menyeru mereka (ahlul bid’ah semisal ikhwanul muslimin dan para pengusung pemikiran takfiri –pen (Sebagaimana yang termaktub dalam pertanyaan atas jawaban ini di hal. 43 dari kitab al-Hats ‘ala al-Mawaddah.)) dengan hikmah dan nasehat yang baik. Niscaya kalian akan melihat dampak yang baik. Namun bagi mereka yang lemah maka demi Allah tidak sepantasnya berbaur dengan mereka, namun kalau mendapat ucapan salam tidak mengapa untuk membalasnya, kalau tidak, apa yang bisa dia lakukan? Yang jelas tidak diperkenankan baginya untuk bermajelis dan berbaur dengan mereka”.
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah menjelaskan bagaimana seharusnya kita bergaul dengan sesama muslim, “Tidak berarti engkau harus berteman atau bermajelis dengan semua manusia. Karena sebagian orang tidak baik untuk kita jadikan teman duduk dan terkadang tabiat seseorang tidak cocok untuk bermajelis dengan sebagian yang lain (yang memiliki tabiat yang berbeda). Akan tetapi seharusnya dia tetap mengucapkan salam kepada mereka, bermuka manis ketika bertemu, menunaikan haknya, mengunjunginya ketika sakit, berziarah ketika ada kebutuhan serta menunaikan hak-haknya, ini semua tidak mengharuskannya untuk menjadikan dia sebagai teman (dekat). Sebagian penuntut ilmu mengira bahwa duduk di setiap majelis dan berbaur dengan semua orang merupakan salah satu wujud persatuan, hal ini keliru. Yang benar adalah dia berusaha mencintai kaum muslimin secara global, lalu memilih di antara mereka yang baik untuk dijadikan teman duduk dan yang membantunya untuk berbuat baik, meskipun demikian dia tidak memutus hubungan dengan kaum muslimin yang lain. Jadi makna persatuan adalah: menunaikan hak-hak kaum muslimin; mengucapkan salam ketika bertemu, bertakziyah ketika ada yang meninggal, mengunjungi orang yang sakit, mencintai kebaikan atas saudaranya, saling menasehati jika ada kekeliruan, membantu ketika ada yang membutuhkan bantuan, inilah hak-hak persaudaraan, dan inilah makna persatuan” (Al-Hats ‘ala al-I’tisham (hal. 3).).
Dan perlu diketahui bahwa bermuka manis serta berlemah lembut kepada ahlul bid’ah dengan tujuan ta’lif sama sekali bukan termasuk mudahanah, akan tetapi ini termasuk mudaaraah yang diperbolehkan, bahkan terkadang disyariatkan dalam Islam.
Nabi pun shallallahu’alaihiwasallam pernah bermudaaraah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
عن عروة بن الزبير أن عائشة أخبرته أنه استذن على النبي صلى الله عليه وسلم رجل فقال: (ائذنوا له, بئس ابن العشيرة أو بئس أخو العشيرة), فلما دخل ألان له الكلام, فقلت له: (يا رسول الله قلت ما قلت ثم ألنت له في القول؟) فقال: (أي عائشة, إن شر الناس منـزلة عند الله من تركه أو ودعه الناس اتقاء فحشه).
“Dari ‘Urwah bin Zubair, Aisyah mengabarkan padanya bahwa ada seorang pria minta izin untuk menemui Nabi , maka Nabi berkata, “Izinkanlah ia, sesungguhnya ia adalah sejelek-jelek pria di kaumnya” atau beliau berkata, “Ia adalah sejelek-jelek orang di kaumnya” Kemudian tatkala orang itu masuk (menemui Nabi ) maka Nabi pun berbicara kepadanya dengan lemah lembut. Aku (Aisyah) pun berkata kepada beliau , “Ya Rasulullah, bukankah engkau telah mengatakan apa yang kau katakan, mengapa kemudian engkau berbicara kepadanya dengan lemah lembut?” Rasulullah menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan atau dijauhi masyarakat untuk menghindari kejahatannya” (HR. Bukhari (bab al-Mudaaraah ma’an naas, no: 6032) dan Muslim (IV/2002 no. 2591)).
Adapun perbedaan antara Mudaarah dengan Mudahanah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah dan Ibnu Baththal rahimahullah: Mudaaraah adalah mengorbankan dunia untuk kemaslahatan yang berkaitan dengan dunia, agama atau keduanya; seperti bersikap rendah hati di hadapan manusia, berbicara dengan lemah lembut dan meninggalkan sikap keras kepada masyarakat. Adapun mudahanah adalah mengorbankan agama demi kemaslahatan dunia; seperti bergaul dengan orang fasik dengan menampakkan keridhaan terhadap kefasikannya tanpa adanya pengingkaran (Lihat: Fath al-Bari (X/558, 648-649).).