YANG MENDAPATKAN KERINGANAN TIDAK BERPUASA
1. Orang sakit ketika sulit berpuasa
1. Orang sakit ketika sulit berpuasa
Untuk orang sakit ada tiga kondisi:118
118 Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118-120.
Kondisi
pertama, apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika
tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang
ringan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.
Kondisi
kedua, apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama
sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak
membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan
dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
Kondisi
ketiga, apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa
mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah
kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
Kedua: Orang yang bersafar ketika sulit berpuasa
Musafir
yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk
mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa. Manakah yang lebih
utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam
hal ini berselisih pendapat. Namun yang lebih tepatnya kita melihat
dari kondisi musafir berikut ini:
Kondisi
pertama, jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang
baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Kondisi
kedua, jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan
untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama
untuk berpuasa. Alasannya karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban
puasa. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan
orang banyak itu lebih mudah daripada mengqodho’ puasa sendiri di saat
orang-orang tidak banyak yang berpuasa.
Kondisi
ketiga, jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat
mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan
diharamkan untuk berpuasa.
Ketiga: Orang yang sudah tua renta dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung sembuh.
Para
ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya
untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya. Menurut mayoritas
ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS.
Al Baqarah: 184)
Begitu
pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang
tua renta yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan
mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan).
Keempat: Wanita hamil dan menyusui
Jika
wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan
wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut
kurangnya susu-, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini
tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal
ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya
Allah 'azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan
meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”119
119 HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
120 HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Namun
apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada
qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan
oleh para ulama. Pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan cukup
mengqodho’ saja.
Dari hadits Anas bin Malik, ia berkata,
“Sesungguhnya
Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita
hamil dan menyusui.”120 Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama
tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka
tidak dibolehkan mengqoshor shalat. ... Keringanan puasa bagi wanita
hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. ...
Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak
berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula
yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan antara wanita
hamil
dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya
(ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri tidak merinci hal ini.”121
121 Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224
122
Wanita yang dalam kondisi semacam ini menunaikan qodho’ di saat dia
mampu. Jika sampai dua tahun ditunda karena masih butuh waktu untuk
menyusui, maka tidak mengapa dia tunda qodho’nya sampai dia mampu.
123 Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, hal. 46.
124 Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.
Ulama
yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa
wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit
boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang
berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang
sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah Ta’ala,
“Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Kondisi
ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu
menunaikan qodho’122. Dalam kondisi ini mereka dianggap seperti orang
sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak
berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untuk mengqodho’ puasa,
karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat
lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak
kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, mereka bisa pindah pada
penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada
satu orang miskin setiap harinya.123
Al
Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui
berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada
kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang
bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak
bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada
kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”