Yang dimaksud dengan qodho’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya.125
125 Lihat Rowdhotun Nazhir wa Junnatul Munazhir, 1/58.
126 Kutub wa Rosa-il lil ‘Utsaimin, 172/68.
127 HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146
Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho’ Puasa
Pertama,
orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa. Termasuk pula
adalah wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk puasa.
Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan.
Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas.
Adakah Qodho’ bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa?
Ibnu
Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja
tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah
ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan
waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur
(tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali
jika ada dalil baru yang mensyariatkan”.
Syaikh
Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti puasa, shalat,
zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada udzur),
ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti
akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat
kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih,
maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”126
Itulah
yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja
tanpa ada udzur. Dia harus bertaubat dengan ikhlash (bukan riya’),
menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa
Ramadhan jika bersua kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan
yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang
kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Semoga Allah
memberi taufik.
Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda
Qodho’
Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan
Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah
sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di
antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qodho’ puasanya
sampai bulan Sya’ban.127
Akan
tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan dilakukan dengan segera
(tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang memerintahkan
untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,
“Mereka
itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah
orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)
Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya
Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum
seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan
berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’
tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia
memiliki kewajiban kafaroh?”
Syaikh
Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa
ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk
orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri
tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah
sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh
(tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat
radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Namun
apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit atau
bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk
berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’
puasanya.”128
128 Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347.
129
Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga
dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4/241, 243) dengan
sanad yang shahih.
Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa
Dasar dibolehkannya hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
“Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’
puasa) tidak berurutan”.129
Barangsiapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah,
“Barangsiapa
yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli
warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”130 Yang dimaksud “waliyyuhu”
adalah ahli waris131. Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli waris
tidak sampai wajib, hanya disunnahkan.132
130 HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147
131 Lihat Tawdhihul Ahkam, 2/712 dan Asy Syarhul Mumthi’, 3/93.
132 Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/26.
133 HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148
134 Lihat Tawdhihul Ahkam, 2/712
135
Contoh dari penjelasan ini adalah seseorang sakit demam mulai tanggal
20 Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan. Berarti ia punya qodho’ puasa
selama 10 hari. Ketika tanggal 1 Syawal, penyakitnya sembuh. Lantas ia
ingin mengqodho’ puasa tadi, keesokan harinya. Namun ternyata keesokan
harinya ia jatuh sakit lagi dan penyakitnya bertambah parah sehingga
tanggal 5 Syawal, ia meninggal dunia. Maka orang semacam ini tidak punya
kewajiban qodho’ sama sekali dan juga tidak ada fidyah. Ia seperti
halnya orang yang meninggal dunia sebelum masuk Ramadhan, artinya ia
meninggal dunia sebelum waktu diwajibkannya puasa.
136
Penjelasan Syaikh Sholih Al Munajid dalam Fatawanya Al Islam Sual wa
Jawab no. 81030. Lihat pula Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/26.
Juga
hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa
selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah
puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih
pantas engkau tunaikan.”133
Boleh
beberapa hari qodho’ puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian
mereka (boleh laki-laki ataupun perempuan) mendapatkan satu atau
beberapa hari puasa. Boleh juga dengan serempak beberapa ahli waris
membayar utang puasa tersebut dalam satu hari.134
Rincian Qodho’ Puasa bagi Orang yang Meninggal Dunia
Pertama:
Jika seseorang tertimpa sakit yang tidak kunjung sembuh, maka ia tidak
ada kewajiban puasa dan tidak ada qodho’ puasa. Yang ia lakukan hanyalah
mengeluarkan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi
setiap hari yang ia tinggalkan. Ia boleh jadi melakukannya ketika ia
hidup. Jika memang belum ditunaikan, ahli waris yang nanti menunaikannya
ketika ia telah meninggal dunia.
Kedua:
Adapun jika seseorang tertimpa sakit yang diharapkan sembuhnya, maka ia
tidak ada kewajiban puasa di bulan Ramadhan karena sakit yang ia
derita, namun ia punya kewajiban untuk qodho’ puasa. Jika ternyata ia
tidak mampu menunaikan qodho’ karena sakitnya terus menerus hingga
akhirnya meninggal dunia, maka ia tidak punya kewajiban qodho’ puasa dan
juga tidak ada kewajiban mengeluarkan fidyah. Ahli warisnya pun tidak
diperintahkan untuk membayar qodho’ puasanya dan juga tidak
diperintahkan mengeluarkan fidyah.135
Ketiga:
Adapun jika seseorang itu sakit dan penyakitnya bisa diharapkan sembuh
dan setelah sembuh ia mampu untuk menunaikan qodho’nya, namun ia
meremehkan sehingga qodho’ tersebut tidak ditunaikan sampai ia meninggal
dunia; maka orang semacam ini yang disunnahkan untuk dibayar qodho’
puasanya selama beberapa hari oleh ahli warisnya. Jika ahli waris tidak
membayar qodho’nya, maka bisa digantikan dengan fidyah (memberi makan
kepada orang miskin) bagi setiap hari yang ditinggalkan.