1. Makan dan minum dengan sengaja
Makan
dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam
tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat
(seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau
diharamkan (seperti khomr dan rokok78), atau sesuatu yang tidak ada
nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)79.
78
Merokok termasuk pembatal puasa. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, Bab
Ash Shiyam, 17/148.
79 Lihat Syarhul Mumthi’, 3/47-48.
80 HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155.
81 Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 72
82 HR. Abu Daud no. 2380. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Jika
orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah
batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Apabila
seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap
menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan
minum.”80
Yang
juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus.
Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena
injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.81
2. Muntah dengan sengaja
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada
qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib
baginya membayar qodho’.”82
3. Haidh dan nifas
Apabila
seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa
baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap
berpuasa, puasanya tidaklah sah.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bukankah
kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan
puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”83
83 HR. Bukhari no. 304.
84 HR. Muslim no. 335.
85 HR. Bukhari no. 1894.
86 Lihat Syarhul Mumthi’, 3/52.
87 HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Umar bin Al Khottob.
88 Al Muhalla, 6/174.
89 Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/106.
90 Jima’ adalah hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau di dubur.
Jika
wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasa di
hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami
haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak
diperintahkan untuk mengqadha' shalat."84
4. Keluarnya mani dengan sengaja
Artinya
mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti
mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya
pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini
menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan
kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“(Allah
Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan
syahwat karena-Ku”85. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat,
sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.86
5. Berniat membatalkan puasa
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap orang hanyalah
mendapatkan apa yang ia niatkan.”87 Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,
“Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan
berpuasa, maka puasanya batal.”88 Ketika puasa batal dalam keadaan
seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.89
6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari
Menurut
mayoritas ulama, jima’90 bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan
Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri
(bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’,
ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani
ataukah
tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa
dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para
ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki
dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafaroh. Pendapat yang
tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad
dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di
bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh
adalah suami.
Kafaroh yang harus dikeluarkan dengan urutan sebagai berikut.
a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud91 makanan.92
91 Satu mud sama dengan ¼ sho’. Satu sho’ kira-kira sama dengan 3 kg. Sehingga satu mud kurang lebih 0,75 kg.
92
Untuk ukuran makanan di sini sebenarnya tidak ada aturan baku. Jika
sekedar memberi makan, sudah dianggap menunaikannya. Lihat pembahasan
pembayaran fidyah dalam bab selanjutnya.
93 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/224.
Jika
orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu
melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun
tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan)
dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain.