Kamis, 18 Mei 2017

SEBAB-SEBAB PUASA MENJADI BATAL

1. Makan dan minum dengan sengaja

Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok78), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)79.
78 Merokok termasuk pembatal puasa. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, Bab Ash Shiyam, 17/148.
79 Lihat Syarhul Mumthi’, 3/47-48.
80 HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155.
81 Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 72
82 HR. Abu Daud no. 2380. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”80
Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.81

2. Muntah dengan sengaja

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.”82

3. Haidh dan nifas

Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”83
83 HR. Bukhari no. 304.
84 HR. Muslim no. 335.
85 HR. Bukhari no. 1894.
86 Lihat Syarhul Mumthi’, 3/52.
87 HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Umar bin Al Khottob.
88 Al Muhalla, 6/174.
89 Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/106.
90 Jima’ adalah hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau di dubur.
Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasa di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat."84

4. Keluarnya mani dengan sengaja

Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”85. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.86

5. Berniat membatalkan puasa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”87 Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”88 Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.89

6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari

Menurut mayoritas ulama, jima’90 bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani
ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafaroh. Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah suami.
Kafaroh yang harus dikeluarkan dengan urutan sebagai berikut.

a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.

b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.

c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud91 makanan.92

91 Satu mud sama dengan ¼ sho’. Satu sho’ kira-kira sama dengan 3 kg. Sehingga satu mud kurang lebih 0,75 kg.
92 Untuk ukuran makanan di sini sebenarnya tidak ada aturan baku. Jika sekedar memberi makan, sudah dianggap menunaikannya. Lihat pembahasan pembayaran fidyah dalam bab selanjutnya.
93 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/224.
Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain.