Puasa
bukanlah menahan lapar dan dahaga saja. Namun puasa hendaknya menahan
diri dari hal-hal yang diharamkan dan sia-sia. Jika tidak demikian,
puasa seseorang jadi tidak ada nilainya. Yang didapati bisa jadi hanya
lapar dan dahaga saja. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut melainkan hanya rasa lapar dan dahaga.”69
69 HR. Ahmad 2/373. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid.
70 HR. Bukhari no. 1903.
71 Syarh Sunan Ibni Majah, 1/121.
72 Fathul Bari, 4/117.
Berikut adalah beberapa amalan yang sudah sepatutnya dihindari oleh setiap orang yang menjalankan puasa.
1. Berkata Dusta.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka
Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”70 As Suyuthi
mengatakan, “Yang dilarang dalam hadits ini adalah az zuur yaitu dusta
dan menfitnah (buhtan). Sedangkan maksud “mengamalkannya” adalah
melakukan perbuatan keji dan setiap apa yang Allah larang yang merupakan
konsekuensi dari berkata dusta.”71
Ibnu
Hajar rahimahullah mengatakan, “Perbuatan yang disebutkan dalam hadits
ini, itulah yang mengurangi pahala puasa seseorang.” Al Baydhowi
rahimahullah mengatakan, “Ibadah puasa bukanlah hanya menahan diri dari
lapar dan dahaga saja. Bahkan seseorang yang menjalankan puasa hendaklah
mengekang berbagai syahwat dan mengajak jiwa pada kebaikan. Jika tidak
demikian, sungguh Allah tidak akan melihat amalannya, dalam artian tidak
akan menerimanya.”72
2. Berkata sia-sia dan berkata kotor.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa
bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah
dengan menahan diri dari perkataan sia-sia dan kata-kata kotor. Apabila
ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah
padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.73
73
HR. Ibnu Khuzaimah 3/242. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits
tersebut shahih. Mengenai makna laghwu dan rofats telah diterangkan
sebelumnya pada pembahasan “Hikmah di Balik Puasa Ramadhan”.
74 Ada bentuk syahwat yang sebenarnya boleh dilakukan ketika tidak berpuasa seperti makan atau berhubungan badan dengan istri.
75 Latho’if Al Ma’arif, hal. 277.
76
Makan, minum, jima’ di luar puasa adalah suatu yang asalnya mubah
(dibolehkan). Ketika puasa hal ini dilarang dan termasuk pembatal puasa.
77 Latho’if Al Ma’arif, hal. 277-278.
3. Maksiat secara umum.
Perhatikanlah
petuah yang sangat bagus dari Ibnu Rajab Al Hambali berikut,
“Ketahuilah bahwa amalan taqorub (mendekatkan diri) pada Allah Ta’ala
dengan meninggalkan berbagai syahwat74 tidak akan sempurna hingga
seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan perkara yang
Dia larang yaitu dusta, perbuatan zholim, permusuhan di antara manusia
dalam masalah darah, harta dan kehormatan.”
Sejelek-jelek
puasa adalah yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan
maksiat di bulan Ramadhan pun masih terus jalan. Sebagian salaf
mengatakan, “Tingkatan puasa yang paling rendah adalah hanya
meninggalkan minum dan makan saja.”75
Apakah Maksiat Membatalkan Puasa?
Ibnu
Rajab rahimahullah berkata, “Mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan
meninggalkan perkara yang asalnya mubah76 tidaklah sempurna sampai
seseorang meninggalkan keharaman. Barangsiapa yang melakukan yang haram
disertai mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah,
maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu
beralih mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang yang bermaksiat
tetap dianggap sah dan tidak diperintahkan untuk mengqoho’ puasanya
menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Alasannya karena amalan itu
batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab
khusus (seperti makan, minum dan jima’) dan tidaklah batal jika
melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah
pendapat mayoritas ulama.”