Akhir-akhir ini kekerasan sering
terjadi di masyarakat, baik yang dilakukan oleh pribadi maupun kelompok.
Kekerasan-kekerasan tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, ada
yang dilakukan karena motif praktis tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
hidup, ada juga yang dilakukan karena mempertahankan dan memaksakan ideologi.
Beberapa kali kekerasan menimpa
umat beragama tertentu dan dilakukan oleh kelompok tertentu. Pelaku kekerasan
mempunyai paham bahwa ideologinya adalah paling benar dan ideologi yang lain
salah, dan sayangnya kelompok penganut ideologi tertentu bergerak secara
radikal dengan membenarkan kekerasan.
Kalau kita amati, ada pola
komunikasi yang tidak benar dalam memahami perbedaan. Kita sadari bahwa
sebenarnya manusia telah dianugrahi oleh sang pencipta berupa akal budi dan
kemampuan berkomunikasi. Ironisnya pola komunikasi dengan sesamanya yang
seharusnya dilakukan dengan dialog yang santun dan menghargai perbedaan justru
dilupakan dan diganti dengan model pemaksaan kehendak, kekerasan hingga
pembunuhan hanya untuk menghilangkan perbedaan.
Seseorang yang berperilaku
memaksakan kehendak dengan cara-cara yang sadis sebenarnya sedang mengalami krisis
kepercayaan baik terhadap diri sendiri atau terhadap kelompok yang diikutinya.
Krisis kepercayaan tersebut muncul karena orang/kelompok tersebut tidak
mempunyai ruang untuk mengaktualisasikan diri/kelomponya secara positif. Untuk
menutupi krisis tersebut, maka orang dan kelompoknya menganggap orang lain yang
berbeda idiologi sebagai musuh yang harus diperangi agar tidak mengganggu
eksistensinya.
Sering kali kita mendengar kata
“manusiawi”, kata ini tentu merujuk pada sifat-sifat dasar manusia yang komunikatif,
berdialog, santun, berbudaya luhur dan nilai-nilai baik khas manusia lainnya.
Ciri-ciri manusia yang beradab adalah menyelesaikan masalah dengan cara
manusiawi. Jika seorang manusia menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak
manusiawi, seperti dengan cara kekerasan, pembunuhan, atau cara “hewani”, maka
manusia tersebut sebenarnya sudah merendahkan martabatnya sendiri sebagai
manusia dan memilih menyetarakan martabatnya dengan mahkluk selain manusia.
Pola pikir bahwa perbedaan adalah
ancaman terbentuk tidak dalam waktu singkat, prinsip bahwa hanya keyakinannya
adalah yang paling benar terbentuk secara terus menerus bahkan sejak manusia
dalam masa anak-anak. Keluarga sebagai entitas kelompok paling sederhana dalam
masyarakat harus mengenalkan anggotanya dengan perbedaan-perbedaan di
masyarakat. Pluralisme harus dihargai, hidup dengan keragaman budaya dan agama
harus dialami sejak manusia pada masa anak-anak. Jika keluarga mengalami
keterbatasan ruang untuk mengajarkan kepada anggotanya tentang pluralisme maka
entitas kelompok yang paling strategis dan sistematis sebagai laboratorium
pluralisme adalah sekolah.
Sekolah terutama sekolah negeri
seharusnya mempunyai siswa dari banyak kalangan, banyak golongan, dan banyak
pemeluk agama. Hal ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk menjadikan
sekolah sebagai laboratorium praktis untuk menerapkan paham pluralisme. Dengan
adanya orang lain yang berbeda di lingkungannya, maka siswa akan mudah belajar
bagaimana memahami perbedaan. Peran seorang guru dan terutama lingkungan
sekolah sanat penting untuk menerapkan bagaimana pluralisme dapat diterapkan.
Selanjutnya siswa yang kemudian akan berkembang menjadi masyarakat dapat
menerapkannya di kehidupan secara umum.
Dalam tingkat masyarakat umum
kekerasan dapat direduksi dengan pola
solidaritas umat beriman. Kata beriman dalam hal ini adalah menggambarkan orang
yang mempunyai agama dan menimaninya dengan benar. Selain harus beriman orang
harus mempunyai paham bahwa agama yang dianut orang lain pasti mempunyai nilai
yang benar dan suci. Penghargaaan atas nilai kebenaraan agama lain akan
menghasilkan solidaritas, dan akhirnya akan tercipta kerukunan dan kerja sama
yang baik untuk membangun masyarakat.
Solidaritas umat beriman bisa
dilakukan dalam banyak konteks, misalnya dalam konteks dalam satu lingkungan
sekolah, dalam lingkungan kerja ataupun dalam lingkungan kedupan sehari-hari di
masyarakat umum. Untuk melakukan dan
membawa sikap solidaritas umat beriman, sesorang harus dilatih sejak kecil,
mulai dari lingkungan keluarga dengan cara mengenalkan solidaritas dengan
anggota keluarga lain, meningkat di
lingkungan sekeliling rumah, lalu di sekolah. Jika sejak kecil seseorang
dilatih untuk menghargai perbedaan orang lain, maka akan mudah meningkatkan
sikap menghargai menjadi bentuk solidaritas.
Kekerasan dan aksi terorisme
secara sistematis harus dilawan dengan solidaritas umat beriman sejak dini,
sejak kecil, sejak dibangku sekolah dan dimasyarakat dalam entitas terkecil
seperti tingkat RT, dusun, dan Desa. Jika ini bisa dilakukan maka aksi
kekerasan dan terorisme tidak akan berdaya melakukan gerakan di Indonesia.
Umat beriman adalah tingkatan
manusia yang mulia, yang mampu melaksanakan ajaran agamanya, solidaritas umat
beriman adalah sikap saling menghargai dan kerja sama antar umat yang
melaksanakan ajaran agamanya. Jika kita sudah yakin bahwa dalam tiap agama
terdapat kebenaran maka kerukunan antar umat beragama di Indonesia bukan hal
yang mustahil.
Seharusnya lebih mudah melakukan
solidaritas umat beriman daripada melakukan kekerasan untuk umat lain.
Mari umat Islam Indonesia bersatu
dan mewaspadai segala bentuk propaganda, fitnah dan dusta (taqiyyah) kepada
ajaran Islam terlebih di bumi Indonesia tercinta yang damai, aman dan
berbhinneka tunggal ika selama ini.