Sabtu, 06 Mei 2017

KEKERASAN AKAR TERORISME

Akhir-akhir ini kekerasan sering terjadi di masyarakat, baik yang dilakukan oleh pribadi maupun kelompok. Kekerasan-kekerasan tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, ada yang dilakukan karena motif praktis tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada juga yang dilakukan karena mempertahankan dan memaksakan ideologi.
Beberapa kali kekerasan menimpa umat beragama tertentu dan dilakukan oleh kelompok tertentu. Pelaku kekerasan mempunyai paham bahwa ideologinya adalah paling benar dan ideologi yang lain salah, dan sayangnya kelompok penganut ideologi tertentu bergerak secara radikal dengan membenarkan kekerasan.
Kalau kita amati, ada pola komunikasi yang tidak benar dalam memahami perbedaan. Kita sadari bahwa sebenarnya manusia telah dianugrahi oleh sang pencipta berupa akal budi dan kemampuan berkomunikasi. Ironisnya pola komunikasi dengan sesamanya yang seharusnya dilakukan dengan dialog yang santun dan menghargai perbedaan justru dilupakan dan diganti dengan model pemaksaan kehendak, kekerasan hingga pembunuhan hanya untuk menghilangkan perbedaan.
Seseorang yang berperilaku memaksakan kehendak dengan cara-cara yang sadis sebenarnya sedang mengalami krisis kepercayaan baik terhadap diri sendiri atau terhadap kelompok yang diikutinya. Krisis kepercayaan tersebut muncul karena orang/kelompok tersebut tidak mempunyai ruang untuk mengaktualisasikan diri/kelomponya secara positif. Untuk menutupi krisis tersebut, maka orang dan kelompoknya menganggap orang lain yang berbeda idiologi sebagai musuh yang harus diperangi agar tidak mengganggu eksistensinya.
Sering kali kita mendengar kata “manusiawi”, kata ini tentu merujuk pada sifat-sifat dasar manusia yang komunikatif, berdialog, santun, berbudaya luhur dan nilai-nilai baik khas manusia lainnya. Ciri-ciri manusia yang beradab adalah menyelesaikan masalah dengan cara manusiawi. Jika seorang manusia menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak manusiawi, seperti dengan cara kekerasan, pembunuhan, atau cara “hewani”, maka manusia tersebut sebenarnya sudah merendahkan martabatnya sendiri sebagai manusia dan memilih menyetarakan martabatnya dengan mahkluk selain manusia.
Pola pikir bahwa perbedaan adalah ancaman terbentuk tidak dalam waktu singkat, prinsip bahwa hanya keyakinannya adalah yang paling benar terbentuk secara terus menerus bahkan sejak manusia dalam masa anak-anak. Keluarga sebagai entitas kelompok paling sederhana dalam masyarakat harus mengenalkan anggotanya dengan perbedaan-perbedaan di masyarakat. Pluralisme harus dihargai, hidup dengan keragaman budaya dan agama harus dialami sejak manusia pada masa anak-anak. Jika keluarga mengalami keterbatasan ruang untuk mengajarkan kepada anggotanya tentang pluralisme maka entitas kelompok yang paling strategis dan sistematis sebagai laboratorium pluralisme adalah sekolah.
Sekolah terutama sekolah negeri seharusnya mempunyai siswa dari banyak kalangan, banyak golongan, dan banyak pemeluk agama. Hal ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk menjadikan sekolah sebagai laboratorium praktis untuk menerapkan paham pluralisme. Dengan adanya orang lain yang berbeda di lingkungannya, maka siswa akan mudah belajar bagaimana memahami perbedaan. Peran seorang guru dan terutama lingkungan sekolah sanat penting untuk menerapkan bagaimana pluralisme dapat diterapkan. Selanjutnya siswa yang kemudian akan berkembang menjadi masyarakat dapat menerapkannya di kehidupan secara umum.
Dalam tingkat masyarakat umum kekerasan  dapat direduksi dengan pola solidaritas umat beriman. Kata beriman dalam hal ini adalah menggambarkan orang yang mempunyai agama dan menimaninya dengan benar. Selain harus beriman orang harus mempunyai paham bahwa agama yang dianut orang lain pasti mempunyai nilai yang benar dan suci. Penghargaaan atas nilai kebenaraan agama lain akan menghasilkan solidaritas, dan akhirnya akan tercipta kerukunan dan kerja sama yang baik untuk membangun masyarakat.
Solidaritas umat beriman bisa dilakukan dalam banyak konteks, misalnya dalam konteks dalam satu lingkungan sekolah, dalam lingkungan kerja ataupun dalam lingkungan kedupan sehari-hari di masyarakat umum.  Untuk melakukan dan membawa sikap solidaritas umat beriman, sesorang harus dilatih sejak kecil, mulai dari lingkungan keluarga dengan cara mengenalkan solidaritas dengan anggota keluarga lain, meningkat  di lingkungan sekeliling rumah, lalu di sekolah. Jika sejak kecil seseorang dilatih untuk menghargai perbedaan orang lain, maka akan mudah meningkatkan sikap menghargai menjadi bentuk solidaritas.
Kekerasan dan aksi terorisme secara sistematis harus dilawan dengan solidaritas umat beriman sejak dini, sejak kecil, sejak dibangku sekolah dan dimasyarakat dalam entitas terkecil seperti tingkat RT, dusun, dan Desa. Jika ini bisa dilakukan maka aksi kekerasan dan terorisme tidak akan berdaya melakukan gerakan di Indonesia.
Umat beriman adalah tingkatan manusia yang mulia, yang mampu melaksanakan ajaran agamanya, solidaritas umat beriman adalah sikap saling menghargai dan kerja sama antar umat yang melaksanakan ajaran agamanya. Jika kita sudah yakin bahwa dalam tiap agama terdapat kebenaran maka kerukunan antar umat beragama di Indonesia bukan hal yang mustahil.
Seharusnya lebih mudah melakukan solidaritas umat beriman daripada melakukan kekerasan untuk umat lain.
Mari umat Islam Indonesia bersatu dan mewaspadai segala bentuk propaganda, fitnah dan dusta (taqiyyah) kepada ajaran Islam terlebih di bumi Indonesia tercinta yang damai, aman dan berbhinneka tunggal ika selama ini.