Syarat Wajib Puasa
35 Disebut dengan syarat wujub shoum.
36
Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan
sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda
yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al
Fiqhiyah, 8/188-190).
Sebagian
fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak
usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka
diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan
meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/20)
37 Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/20.
38 Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum.
39 HR. Muslim no. 335.
40 Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21.
41 Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/21.
Syarat wajibnya puasa yaitu: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh36, dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa.37
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
Syarat
wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka
ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
“Dan
barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185).
(3)
Suci dari haidh dan nifas. Dari Mu'adzah dia berkata, "Saya bertanya
kepada Aisyah seraya berkata, 'Kenapa gerangan wanita yang haid
mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' shalat?' Maka Aisyah menjawab,
'Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ' Aku menjawab, 'Aku bukan
Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia menjawab, 'Kami dahulu
juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat'."39 Berdasarkan kesepakatan
para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib
puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.40
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu
(1)
Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat
terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
(2)
Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah
sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat. Dalil dari hal ini
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap
amal itu tergantung dari niatnya.”42
42 HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob.
43
Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu shouma ghodin ...”. Jika
seseorang makan sahur, pasti ia sudah niat dalam hatinya bahwa ia akan
puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.
44 Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
45 Majmu’ Al Fatawa, 18/262.
46 Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh.
47 HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333.
Asy
Syaukani rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits
ini mauquf (hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas.
Karena riwayat marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa diterima
sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat
seperti ini pun dipilih oleh sekelompok ulama, namun diselisihi oleh
yang lainnya. Ulama yang menyelisihi tersebut berdalil tanpa argumen
yang kuat” (Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 323).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
Namun,
para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah
diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk
melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati43. Semoga Allah merahmati
An Nawawi –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan, “Tidaklah sah
puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak
disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di
antara para ulama.”44 Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang
menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat.
Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk
menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia
ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika
seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka
sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap
orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak
disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah
yang namanya niat.”45
Wajib Berniat Sebelum Fajar
Dalilnya
adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”47
Adapun
dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas
ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah
berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemuiku
dan bertanya, "Apakah
kamu
mempunyai makanan?" Kami menjawab, "Tidak ada." Beliau berkata, "Kalau
begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada hari yang
lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah
berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju)." Maka
beliau pun berkata, "Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi
aku berpuasa."48 An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil
bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu
zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”49 Di sini
disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum
melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat
(di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan
di dalamnya.50
48 HR. Muslim no. 1154.
49 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
50 Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, 6/32.
51 Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/26.
52 Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/19.
Niat
ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di
bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu
dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari
lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.51
Rukun Puasa
Berdasarkan
kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai
pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga
terbenamnya matahari52. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
(QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang
dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.